terkadang aku suka kesal atas penolakan penolakan dan pertentangan. Aku berasa benar, opposite ku pun merasa benar.
hellooooo ini hanya mengenai persepsi yang berbeda, hanya karena 'ego' masing masing kami sulit untuk melangkah melihat dari sudut pandang yang lain.
Begitu pula dengan penolakan penolakan... kalo saja kita bisa mengajukan pertanyaan yang sedikit 'berbeda', sangat mungkin akan mendapatkan jawaban yang berbeda.
aku sedang belajar apabila mendapat penolakan, lalu mengajukan pertanyaan, 'lantas, apa yang bisa saya lakukan agar saya mendapatkan bla bla bla....' dan semacamnya :)
alih alih meminta dg posisi menguntungkan diriku, bukankah lebih baik meminta dg porsi yang bisa orang lain lakukan untuk kita & mengusahakan yang terbaik untuk kita. selalu ada jalan, selalu ada celah meskipun kecil namun harapan selalu ada... ^_^
Salah satu kehebatan social media adalah mempertemukan teman-teman lama yang akhirnya membawa kepada sebuah rencana besar. Salah satunya adalah Reuni Akbar SMPN 42 Pademangan untuk seluruh angkatan yang diadakan bulan lalu.
Saya larut dalam kegembiraan bertemu dan saling sapa dengan teman-teman lama yang sudah tak berjumpa lebih dari 20 tahun.
Acara yang diadakan panitia sendiri menjadi tidak penting. Kami sibuk dengan acara kami sendiri.
Sampai acara ditutup pun, kami masih belum rela untuk saling mengucap: “sampai ketemu” lain kali yaa…
Akhirnya diputuskan untuk menutupnya dengan makan malam di restoran D’Cost yang tidak jauh dari lokasi acara.
Saat mencari kursi untuk bisa bergabung dengan 30-an orang di satu barisan, masalah pun muncul.
Kami tidak bisa duduk dalam satu kelompok, harus terpisah, karena settingan meja kursi tidak boleh diubah.
Bagaimana mungkin bagi kami yang ingin makan sambil makan sambil bertukar cerita harus duduk secara terpisah?
Saya pun “memaksa” sang manajer agar bisa meluluskan permintaan kami agar bisa mengatur meja kursi sesuai keinginan kami.
Permintaan kami ditolak.
“Kalau bapak mau, harusnya reservasi dulu untuk minimal 100 orang”, ujarnya sambil menunjuk meja-meja dengan tulisan “reserved”.
“Mas, tolonglah, kami ini lagi reuni, sudah lama nggak ketemu, kami ingin duduk satu kelompok”, pinta saya.
Kembali jawabannya adalah tidak bisa dan tak ada alternatif lain. Sang manajer pun sepertinya tidak peduli apakah kami akhirnya memutuskan untuk batal makan di sana. Posisi kami juga sulit. Mau pindah juga tidak ada pilihan.
Saya pun naik emosi. Manajer ini sangat kaku dengan SOP restoran yang menurut saya kurang bersahabat dengan pelanggan.
Saya pun memeras otak supaya keinginan kami bisa diakomodir dengan tidak menerobos pagar yang harus dilanggar oleh manajer ini.
Akhirnya saya dapat ide. Ini “the ultimate question” yang saya yakin akan menghasilkan solusi buat kami.
“Mas, bagaimana caranya supaya kami 30 orang ini bisa duduk dalam satu kelompok?”, tanya saya dengan yakin.
Dalam hati saya tersenyum. Ini pertanyaan yang memojokkan si manajer.
Ia pun berpikir sejenak.
“Bisa Pak, di pojok sana”, katanya sambil menunjuk. “Tapi menunggu dua orang yang lagi makan itu. Nanti kursinya kami atur”.
Saya pun melirik ke sana. Ada ruang kosong dengan dua orang yang tampak sedang mengakhiri makan malamnya.
“Oke Mas, gak apa-apa”, jawab saya senang. Yess!, teriak saya dalam hati.
Manajer itu “terjebak” oleh pertanyaan telak dari saya. Pertanyaan yang memaksanya memutar otak untuk mencari solusi terbaik buat kami.
Kesimpulan: mengajukan pertanyaan yang berbeda, hasilnya pun beda.
Every body happy
Filed under: Leadership, Life

No comments:
Post a Comment