Thursday, March 15, 2012

cerpen: Bara Jingga by @ouchart

21

Bara Jingga

Disini aku merana. Terdiam, hanya sunyi yang menemaniku dengan setia. Secangkir kopi yang sudah di hadapanku belum juga tersentuh. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa diam. Sudah lebih dari lima jam aku duduk di cafĂ© ini. Memikirkan sesuatu tetapi tak kunjung bertemu dengan solusi. Dan sudah lebih dari lima kali pramusaji itu menawarkan buku menu padaku, oleh karena itu aku memutuskan untuk memesan secangkir kopi. Tetapi tetap saja kopi tidak membuatku merasa lebih baik. Hanya akan membuat aku semakin tidak bisa memejamkan mata di saat nanti aku beranjak tidur, bagus. Itu artinya waktuku untuk berpikir akan lebih lama. Tapi apakah benar-benar bertemu solusinya? Aku tak tahu, kupasrahkan saja padaNya…

Jam dinding menunjukkan bahwa malam akan semakin gelap ditemani bulan dan pasukan bintangnya. Mungkin aku akan tetap disini untuk beberapa saat. Masalah ini sungguh menyiksaku, aku berani sumpah. Mungkin benar kata orang bahwa menghindari masalah bukanlah langkah yang tepat. Tapi memang inilah yang sedang kulakukan sekarang. Aku tidak bermaksud untuk menghindari, hanya saja aku stuck! Aku butuh more space untuk memikirkan jalan keluar ini semua. Toh tidak hanya untuk aku, tapi juga untuk semua. Dan lagi..

“Aku mencarimu kemana-mana, dan kamu malah enak-enak ngopi disini?!”
“Apa urusanmu?”
“Aku peduli denganmu, Ngga. Aku berusaha mencarimu karena aku mengkhawatirkanmu, aku abangmu, Ngga..”
“Ya, aku tau..”
“Trus mana jilbabmu? Apa maksudmu berkeliaran tanpa jilbab?!” selalu saja orang ini mengoceh, tetapi rasa sayangnya padaku tak pernah hilang. Sampai saat ini...
“Aku stuck. Aku capek. Aku gak bisa kalau Mama begini terus tingkahnya, dan Papa selalu saja di luar rumah. Kamu nggak liat apa mataku udah hitam gini?!”
“Jingga, kita cuma perlu bersabar. Allah selalu punya cara untuk mendewasakan hambaNya, ngga… Dan kamu pasti tau apa maksudku”
“Iya, Allah punya caraNya sendiri. Lalu bisakah abang beri tahu aku rencana apakah itu?”
“Aku bukan Allah Yang Maha Agung, Jingga adikku. Tapi menurutku, mungkin Dia ingin kamu lebih dewasa lagi di saat kamu harus berhadapan dengan sebuah masalah”
Lebih dewasa lagi di saat harus berhadapan dengan sebuah masalah? Boleh juga. Kuhirup aroma kopiku yang masih hangat. Tak lama kemudian Bang Bara beranjak dari tempat duduknya dan memelukku. Bisa kurasakan aroma rokok dan cat minyak yang berpadu menjadi satu aroma khas abangku ini.
“Aku tahu rasanya sulit, tapi kamu masih punya aku. Aku juga merasakan yang sama, pusing melihat orang tua kita bertengkar setiap hari. Tapi aku yakin aku bisa kuat karena aku masih punya adikku yang paling keren ini…” pelukannya semakin erat, dan membuat aku hangat. Mengingatkan aku akan masa kecil kami yang bahagia. Aku rindu masa-masa itu.. Air mataku menetes tanpa kusadari, membasahi jaket kesayangannya.

“Bang..”
“Iya, Adikku?”
“Aku gak mau pulang ke rumah dulu. Aku tidur di studio abang aja ya?” rengekku, aku yakin dia pasti mengijinkan.
“Trus kamu tega liat aku tidur sendirian di rumah? Akika ogah, ciiiin” sahutnya manja seperti banci, ini salah satu triknya untuk membuatku tertawa.
“Hehe, abang pantes banget jadi waria perumahan kita. Yuk kite pulang, ciiiin” balasku sambil mengacak-acak rambutnya. Kurasa aku harus menemaninya ke salon minggu depan, rambutnya sudah mulai beruban lagi.
“Yakin nih mau pulang?”
“Lho? Trus tadi katanya nyariin supaya aku pulang, gimana sih?!”
“Jalan-jalan dulu yuk, temani aku lihat bintang malam ini. Sudah lama kan kita gak lihat pemandangan luar? Itung-itung kencan deh..” katanya lembut dan penuh canda. Mendengar permintaannya itu, aku hanya bisa mengangguk. 
“Makanya, jangan kelamaan jomblo. Akhirnya adik sendiri diajak kencan”
“Bawel lu ah”
Segera dia merogoh saku jaketnya, mencari kunci motor vespanya yang selalu bersih. Suaranya memecah sunyi yang sedari tadi memenuhi pikiranku. Bang Bara menyerahkan salah satu helmnya untukku.
“Ayo cepat naik”

Kami melaju di tengah angin malam yang menderu-deru. Hembusan angin menampar wajahku lembut. Mungkin sudah sekitar 5 tahun aku dan abang tidak menyempatkan diri untuk sekadar melihat pemandangan sekitar. Sudah bisa kupastikan kami pasti akan menuju taman kota yang sepi dan membuat kami bebas melihat rasi-rasi bintang di langit malam ini. Atau mungkin juga menuju sebuah lapangan luas lalu kami berdua akan tidur seenaknya menghadap langit dan berlomba menghitung bintang.
“Bang, kita mau kemana?”
“Ke lapangan sebelah perumahan itu, tau? Aku pernah kesana sendirian, sepertinya kalau malam begini tidur menghadap langit akan seru.” Dugaanku yang pertama, tepat.
Sesampainya kami di lapangan, entah kenapa aku ingin berlari sekencang mungkin. Aku berlari memutar lapangan. Bang Bara melongo melihat tingkahku, tapi tak lama mengikutiku berlari dan membalapku. Aku tidak terima, aku akan membalapnya lagi. Dan terus seperti itu, kami, dua orang mahasiswa gila berlomba lari mengelilingi sebuah lapangan di malam hari. Setelah terasa letih, aku berhenti berlari dan tidur menghadap bintang. Tak lama, Bang Bara juga tidur di sampingku. Kulihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 20.00, tidak terlalu malam kurasa.

“Bang…”
“Iya, Neng. Pesen apaan?”
“Lu kira gue mau pesen bakso!”
“Hahahaha” tawanya berderai. Aku senang mendengar tawanya, membuatku ikut tertawa.
Malam ini langit terlihat sangat glamour dengan bintang-bintang bertaburan. Ah, aku sangat menyukai bintang. Mungkin nanti jika aku sudah berkeluarga dan memiliki anak, akan kuberi nama Bintang. Sedangkan abangku, penggemar berat matahari. Namaku dan nama abangku terinspirasi oleh matahari. Oleh karena itu, nama lengkapnya adalah Sakti Bara Pratama. Sedangkan namaku Gemilang Jingga. Sampai sekarang aku tak tau mengapa namaku terdengar seperti nama seorang laki-laki. Tapi kusyukuri saja, setidaknya namaku tidak pasaran.

Hmm, apakah Mama sudah makan? Apa pertengkarannya sudah berakhir? Bisakah keadaan ini semua berubah seperti semula sebelum mereka memutuskan berpisah? Oh Mama, Papa… Jingga sayang kalian… tapi kenapa kalian tetap lebih memilih perpisahan?
“Mau permen?” tawar abangku dengan beberapa butir permen di tangannya. Permen mint yang kupilih. Dan dia kembali mengoceh.
“Sudah jangan dipikirkan lagi soal Mama. Aku pun juga berusaha untuk kebaikan semua, kebaikanmu juga. Kamu bisa cerita apa saja padaku, kamu mengerti?”
“Iya aku paham, aku tahu point pembicaraan ini dimana dan kemana…”
“Anggap saja ini proses pendewasaan diri kita, Ngga…”

Lagi-lagi proses pendewasaan diri. Apa aku memang belum cukup umur untuk bisa dewasa. Kukira dengan usia 18 tahun aku sudah cukup dewasa untuk menghadapi ini semua.
“Mungkin memang kamu sudah 18 tahun, dan aku 20 tahun. Meskpin begitu, kita harus tetap intropeksi diri kita sendiri. Dan aku sangat tidak setuju dengan sikapmu untuk melepas jilbabmu di saat kamu merasa tertekan. Tolonglah, Dik… Jangan lepas jilbabmu, masih ada aku untuk melampiaskan emosimu.”
Aku tertegun mendengarnya. Betapa banyak sayangnya hanya tercurah untukku seorang, dia tidak akan membiarkan aku lemah begini. Abangku ingin aku kuat menjalani ini semua, kami bersama-sama menghadapinya. Aku bersyukur bisa memiliki kakak seperti dia. 
“Maaf, aku tadi gak bisa kendalikan pikiranku. Aku beku, mencoba mencari sensasi. Setidaknya membuat aku lupa tentang ini semua, walau hanya sebentar. Maaf ya, Bang”
Tangannya mengusap kepalaku lembut. Kubiarkan dia menatapku lekat-lekat, aku tak ingin kehilangan abangku satu-satunya. Akan kujaga dia, karena hanya dia milikku yg berharga saat ini dan sampai kapanpun. Aku akan berjanji menjadi lebih dewasa dalam menghadapi masalahku. Tak terasa dingin pun datang dan menusuk-nusuk badan kami.
“Bang, ayo pulang ke studio…”
“Dingin, ya?” sahutnya yang kubalas dengan anggukan.
“Baiklah, ayo pulang”
Dan kami pun pulang dengan membawa secercah harapan bahwa besok akan lebih baik dari malam ini.

****
Tumben sekali studio Bang Bara bersih. Peralatan lukisnya tertata rapi di raknya, kanvas-kanvas tidak berserakan seperti biasanya. Aku tidur terlalu lama dan Bang Bara sepertinya sudah pergi ke kantor. Eits, bukannya ini hari Sabtu? Harusnya dia tidak pergi kemana-mana? Apalagi hari ini ulang tahunku.
Saat aku berusaha mencarinya seantero studio, yang kutemukan hanya sebuah televisi tanpa penonton. Televisi itu dibiarkan hidup, mungkin Bang Bara yang terakhir menontonnya. Kupikir daripada aku diam saja, lebih baik aku menonton saja. Kuganti channel-nya ke berita pagi. Ah, itu-itu saja beritanya. Karena semua channel di televisi kuanggap membosankan, aku mematikannya segera.
Sayup-sayup kudengar suara riuh di luar sana yang membuatku penasaran dibuatnya. Seperti ada parade besar dan banyak orang berkumpul. Saat kubuka pintu studio…
“SELAMAT ULANG TAHUN, JINGGA!”
Semua orang yang kusayangi berkumpul di depan studio, memberikan kejutan ulang tahun untukku. Dan bayangkan, ada Mama dan Papa disana! Mereka berangkulan! Dan tidak ketinggalan yang lain seperti teman-temanku, termasuk abangku, Bang Bara. Semua yang mereka bawa serba berwarna jingga, warna favoritku. Dan ada kue tart dengan bertuliskan dalam bahasa Jepang yang berbunyi tanjoubi omedetou gozaimasu. Aku segera berhambur ke Mama, Papa, dan Bang Bara. Mereka memelukku erat.
“Ngga, maafkan Mama. Harusnya Mama tidak egois seperti sebelum-sebelumnya, Mama tidak peka dengan perasaanmu. Selama ulang tahun ya, Jingga sayang”
“Maafkan Papa juga, Jingga. Ini semua salah Papa, harusnya Papa tidak terlalu menghabiskan waktu Papa hanya untuk bekerja. Papa harusnya ingat bahwa ada permata-permata Papa yang harus Papa jaga. Selamat ulang tahun untukmu, Nak”
Aku tak dapat berkata-kata. Papa dan Mamaku kembali akur setelah satu tahun lamanya berpisah. Air mataku bergulir. Tapi ini bukanlah air mata sendu, melainkan air mata rindu. Rindu keluargaku yang teramat sangat. Kupeluk keduanya, dan bersyukur dalam hati.
“Aku senang kita bisa melaluinya. Ini semua sudah berakhir, Adikku” ucap Bang Bara menyejukkan. Kini aku memeluknya erat.
“Dasar banci kaleng! Gue cariin pagi-pagi udah ngabur aja. Hahaha” sahutku dengan tawa yang juga membuat Bang Bara tertawa.
“Akika seneng ciiin, bisa liat do’I ketawa lagi.” Sahutnya dengan gaya yang banci, seperti biasa.
Sungguh tak dapat kukatakan kebahagiaanku yang saat ini kurasakan. Kini aku tak butuh hadiah apapun lagi. Ini semua adalah hadiah yang teramat indah yang pernah aku terima. Terima kasih, Tuhan. Kau penuhi permintaanku, dan berkatMu, kini aku siap untuk mejadi lebih dewasa dalam menghadapi semua masalah. 
“Ma, Pa, Abang, I love you so much..”
****

penulis: Salsa Sabhila

Posted via email from youth corner bali

No comments: