Undangan Bedah/Diskusi Buku :
"Pencarian de Dalam Diri, Merajut Ulang Budaya Luhur Bangsa"
Jumat, 6 Juli 2012
Jam 6 - 10pm
di Toko Buku Togamas, Jl. Hayam Wuruk 175, Tanjungbungkak, Denpasar Timur.
Pembicara: I Gde Samba; moderator: Wayan ‘Jengki’ Sunarta.
Buku yang ditulis oleh I Gde Samba, “Pencarian ke Dalam Diri, Merajut Ulang Budaya Luhur Bangsa” yang diterbitkan Yayasan Dajan Rurung Indonesia (Bandung, September 2011), merupakan sebuah tinjauan dan penggalian kisah Mahabharata dan Ramayana, yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan mutakhir kebudayaan, kemanusiaan, keagamaan, kemasyarakatan, kenegaraan/kebangsaan. Dari “situs” Mahabharata dan Ramayana, Samba menggali dan menemukan banyak “harta karun” permenungan, yang kemudian diolahnya menjadi serpihan-serpihan catatan yang cenderung subjektif, yang bisa menjadi bahan renungan kita bersama.
Ketika membaca buku ini, kita seperti membaca lembar demi lembar catatan harian. Namun, jelas bukan membaca catatan harian remaja ABG, melainkan catatan harian yang dibuat oleh seseorang yang telah mencicipi dan mengalami begitu banyak sajian kehidupan. Di dalam catatan-catatan yang ditulis dengan bahasa sederhana/polos ini, Samba menuangkan pujian, kritikan, banyolan, celoteh, persepsi, pandangan pribadi (opini), idealisasi, filosofi, keinginan/harapan, terhadap berbagai persoalan yang mengusik pikiran dan perasaannya.
I Gde Samba lahir di Dusun Beng, Tunjuk, Tabanan, Bali, Maret 1942. Dia pernah bekerja sebagai Fisioterapis di RS Hasan Sadikin, Bandung. Dia juga mendirikan Yayasan Fisioterapi Bandung yang menyediakan pelayanan fisioterapi untuk masyarakat. Pada 2007, dia menerbitkan buku “Fisioterapi Konseptual, Sebuah Pengantar”. Selama 1992-1997, dia menjabat sebagai Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia untuk wilayah Jawa Barat. Sejak kanak-kanak dia telah menggemari dunia seni dan budaya, terutama kisah pewayangan, yang kemudian dituangkannya melalui permenungan-permenungan di buku ini.
Dalam buku ini, Samba membayangkan dirinya sebagai seorang murid (sisya) yang berguru (bernabe) pada Vyasa dan Valmiki. Mata pelajaran utama yang sedang dipelajarinya tentu kitab Mahabharata dan Ramayana. Dia menggali banyak filosofi kehidupan dari kedua kitab itu. Di bagian akhir masing-masing catatannya, Samba berdiskusi dengan “guru”nya perihal “penggalian” dan “penemuan”nya, yang antara lain melingkupi permenungannya tentang kebenaran, hukum, sejarah, ilmu dan teknologi, pendidikan, konsep Rwabhineda, kejujuran, budaya hidup sehat, kekayaan dan kekuasaan, perihal agama dan Tuhan, kebebasan, kasta, kearifan lokal, gender/feminisme, cinta dan seks, dan sebagainya.
Teknik yang dilakukan Samba, mirip dengan kisah Ekalaya, dalam suatu adegan Mahabharata. Ekalaya ingin belajar memanah pada Guru Besar Drona yang merupakan guru resmi Pandawa dan Kurawa. Namun, Drona menolak Ekalaya, dengan alasan dia tidak boleh mengajar ksatria di luar Pandawa dan Kurawa. Dengan perasaan sedih, Ekalaya pulang ke rumah. Namun, keinginan belajarnya tak pernah surut. Dia kemudian membuat patung Drona, menyembah dan menghormati patung itu selayaknya manusia bernyawa. Dengan tekun dia belajar memanah di hadapan patung itu, seakan-akan patung itu adalah gurunya. Hasilnya, luar biasa, dia menjadi pemanah yang jauh lebih hebat melebihi Arjuna. Samba dan Ekalaya adalah sosok-sosok otodidak yang pantang menyerah untuk mampu menguasai suatu pelajaran. Sebagaimana Ekalaya belajar ilmu panah di hadapan patung Drona, Samba pun belajar ilmu kehidupan melalui kitab Mahabharata dan Ramayana.
Samba mengaitkan setiap permenungan dan pemaparannya tentang suatu pokok persoalan dengan perwatakan dan berbagai kisah dalam Mahabharata dan Ramayana. Misalnya, ketika membahas perihal kejujuran, Samba memakai Prabu Dharmawangsa sebagai contoh. Ketika memaparkan pendidikan informal (otodidak), dia memunculkan sosok Ekalaya. Ketika berbicara kenegaraan/kebangsaan, Samba memberi contoh ajaran Asta Brata dalam Ramayana, yakni delapan tuntunan menjadi pemimpin yang bijaksana. Seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat kedewaan, seperti Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni. Begitu pula, ketika memaparkan perihal cinta dan seks, Samba menuangkan permenungannya dari kisah Bagawan Wisrawa dan Dewi Sukesi dalam Ramayana.
Mahabharata dan Ramayana adalah produk kebudayaan India, yang dikenal luas di banyak negara. Dalam hal ini, perlu saya paparkan bahwa sumber kebudayaan ada pada otak (pikiran) manusia. Itulah yang membedakan manusia dengan hewan dan tumbuhan. Ketika manusia mengembangkan pola pikirnya maka lahirlah kebudayaan. Seperti halnya, Vyasa dan Valmiki yang menciptakan Mahabharata dan Ramayana, yang hingga kini menjadi rujukan penting untuk memahami kebudayaan India, Jawa dan Bali. Bahkan kisah tersebut menjadi lakon pewayangan yang telah melahirkan banyak filosofi kehidupan yang hingga kini masih dijalani oleh masyarakat tradisional Jawa dan Bali.
No comments:
Post a Comment