Wednesday, July 04, 2012

Kita Punya Negeri di Bawah Kabut

Screening dan Diskusi Film "NEGERI DI BAWAH KABUT"
 

Sebuah kebanggaan bagi Youth Corner Bali karena mendapat kesempatan menjadi Local Partner wilayah Bali untuk acara

Screening dan Diskusi Film "NEGERI DI BAWAH KABUT" (THE LAND BENEATH THE FOG).  Acara ini diadakan pada tanggal 27 Juni 2012 bertempat di Griya Musik Irama Indah, Jl. Diponegoro 114, Denpasar. Sekitar 40 penonton hadir untuk mengikuti acara ini. Mereka datang dari berbagai lapisan profesi, seperti pelajar SMA, mahasiswa, filmmaker, penikmat film, komunitas muda, dan lain sebagainya.

 

Negeri di Bawah Kabut merupakan sebuah film documenter karya Shalahuddin Siregar  yang telah meraih berbagai prestasi membanggakan, seperti SPECIAL JURY PRIZE DUBAI INTERNATIONAL FILM FESTIVAL 2011 dan OFFICIAL SELECTION SINGAPORE SOUTH EAST ASIA FILM FESTIVAL 2012. Film documenter ini mengisahkan  sebuah desa di lereng gunung Merbabu, dimana sebuah komunitas diam-diam sedang menghadapi perubahan tanpa mengerti alasannya. Sebagai komunitas petani yang mengandalkan sistem kalender tradisional Jawa dalam membaca musim, mereka dibuat bingung oleh musim yang sedang berubah. Negeri di Bawah Kabut membawa kita melihat lebih dekat bagaimana perubahan musim, pendidikan dan kemiskinan saling berkaitan satu sama lain.

 

Dari pihak produksi memilih road show sebagai cara untuk memperkenalkan film documenter yang sangat menginspirasi ini. Film documenter ini diputar di 17 kota dan Denpasar adalah satu dari kota yang terpilih. Di Denpasar sendiri, acara ini didukung oleh beberapa sponsor, seperti FORD FOUNDATIOIN, GOETHE INSTITUTE, KOMUNITASFILM.ORG, Youth Corner Bali, Ubud Writers & Readers Festival, dan Griya Musik Irama Indah.

 

293846_440551122642248_5025734

 

Screening dan Diskusi Film "NEGERI DI BAWAH KABUT" dimulai sekitar pukul 19.00 Wita. Namun, penonton sudah setia berada di Minihall Griya Musik Irama Indah 30 menit sebelum film dimulai. Sebelumnya film dimulai, diadakan voting untuk memilih bahasa subtitle dari film dokumenter ini karena film aslinya menggunakan Bahasa Jawa. Ternyata, audience yang memilih English subtitle lebih banyak. Akhirnya, sekitar pukul 19.15 p.m lampu ruangan dipadamkan dan film pun diputar.

 

Film ini berdurasi cukup lama, yaitu 105 menit. Namun, penonton tampak antuasias mengikuti satu per satu scene dalam film. Film ini memiliki kualitas suara yang sangat baik. Sehingga, membuat penonton seakan-akan merasakan hujan dan dinginnya udara disana. Di tengah-tengah tontonan, juga terdengar selingan tawa dari penonton karena ada lelucon maupun kepolosan perilaku masyarakat di film documenter tersebut.

Akhirnya, film selesai diputar. Tepuk tangan meriah mengisi ruangan ini. Lampu pun dinyalakan dan tiba saatnya diskusi film bersama Shalahuddin Siregar. Diskusi ini diawali dengan pemaparan seputar pembuatan film yang menghabiskan waktu sekitar 3 tahun lamanya. Film documenter ini dibuat tanpa scenario. Namun, adegan yang ditayangkan sangat teratur layaknya artis profesional. Beginilah naturalism sebuah perilaku.

 

Berbagai pertanyaan dan tanggapan pun mewarnai sesi diskusi ini. Berikut notulensi singkat dari beberapa penanya.

425461_440550799308947_8834343

 

 

206214_440551702642190_1396615
 
229874_440551522642208_2038787

 

1.      Frischa (Komunitas Sahaja)       : Ini film yang sangat bagus. Saya ingin bertanya, apakah ada bantuan dana untuk sekolah Arifin? atau memang dibiarkan berjalan seperti begitu?

 

Jawaban   : Kita memang membuat film ini apa adanya. Jadi, kita hanya mengambil gambar kehidupan dua keluarga itu. Memang pada saat itu tidak ada bantuan karena kita juga ingin kehidupan mereka berjalan apa adanya. Kita tidak ingin terjalin hubungan uang antara pembuatan film ini dengan masyarakat disana saat pembuatan. Namun, ketika ada royalty, kita memang memberikannya untuk mereka.

 

2.      Dista (mahasiswi) : Bagaimana cara memilih keluarga dalam pembuatan film itu ?

 

Jawaban   : Saya sudah kenal cukup lama. Sekitar tahun 1997 kenal desa tersebut dan tiap tahun saya kesana untuk mendaki. Misi awal saya sendiri, yaitu ingin mengenal penduduk yang sering saya temui disana lalu membuat potret mengenai mereka. Saya memulainya dengan mengobrol bersama. Ternyata, selama ini saya merasa mengenal pertanian tetapi kenyataannya tidak begitu. Lalu, saya melanjutkan misi ini dengan membuat film dengan handycam serta dana dari FORD FOUNDATIOIN dan GOETHE INSTITUTE. Selanjutnya, film ini saya bahas dengan dua orang mentor dari Inggris dan Finlandia. Sebenarnya, ada potongan cerita yaitu ketika kakak Arifin yang bekerja sebagai buruh. Namun, saya rasa itu akan terlalu luas apabila dimasukkan. Jadi, cerita itu untuk film kedua nantinya.

 

3.      Daniel (Movie maker) : Saya sangat suka film ini, apresiasi untuk film documenter dengan proses yang sangat kompleks seperti ini. Editingnya juga bagus. Pertanyaan saya, bagaimana cara pemilihan jalan ceritanya dan bisa ceritakan proses editingnya ?

Jawaban   : Untuk memilih jalan cerita atau bagian yang ingin ditayangkan, saya memilih bagian yang mengabungkan informasi dan emosi, misalnya kedekatan antara ibu dan anak. Sehingga, esensi filmnya dapat terlihat. Editing film ini juga memakan waktu sekitar 1 tahun karena ada banyak bagian yang mesti kita pilih dan dipadukan untuk memdapat jalan cerita yang baik.

 

4.      Tom-Tom (BMKG)          : Saya hanya ingin menanggapi, film ini sangat menarik, saya baru tahu ternyata informasi cuaca tidak sampai pada daerah-daerah disana. Saya merasa makan gaji buta. Saya harap, film ini dapat ditayangkan lagi di kantor saya. Hahaha

 

5.      Mala (mahasiswi)            : Saya dulu pernah ke daerah sana saat bergabung di Mapala Aceh. Jadi, saya penasaran dengan proses pembuatan, apakah ada perubahan perilaku masyarakat desa ini selama proses pembuatan sampai finishing film ini ?

 

Jawaban   : Pada tahun kedua pembuatan film ini, sudah ada penduduk yang kredit motor. Terkadang, suara motor itu cukup mengganggu apalagi dalam pembuatan film ini saya ingin natural soundnya jelas. Banyak juga mafia sejenis depkoleptor yang memanfaatkan kepolosan masyarakat disini, sampai sempat kami dari kru tidak terima karena merasa masyarakat disini tertipu. Selanjutnya, ada juga masyarakat yang membawa HP, namun belum bisa membaca. Terkadang saya bingung, bagaimaa mereka menggunakannya.

 

6.      Chika (Minikino)  : Mungkin karena saya terbiasa nonton film pendek ya. Jadi, ketika mendengar ada screening film dengan durasi 105 menit, saya agak terkejut. Tapi jujur, saya apresiasi sekali dengan film ini. Walaupun lama, tapi saya tidak bosan. Soundnya terutama sangat baik. Film ini baik dan harus lebih banyak orang Indonesia yang menonton film ini.

 

7.      Edo W. (Minikino)           : Tanggapan pertama dari saya, ini film documenter Indonesia dengan sound terbaik. Lalu, saya ingin bertanya, apa  distribusi film ini seain roadshow ? Bisa jelaskan mengenai Project 10tahun Setelah Reformasi? Bagaimana kelanjutan film ini atau karya berikutnya ? Bisa ceritakan peran Elida dalam film ini ?

 

Jawaban : Wah, ini pertanyaan yang berbeda dari kota-kota yang lain. Sampai saat ini, distribusi masih lewat roadshow ke berbagai kota dan kampus dan ada festival asing juga, ya itu dapat dikatakan bonus. Akhir Juli ini juga akan diputar di India. Tapi, kita juga berencana membuat DVD atau CD film ini, sekarang sedang dalam proses. Mengenai Project 10 tahun Setelah Reformasi ya itu headline untuk menambah daya tarik film ini dan tidak berpengaruh besar. Karya berikutnya masih ada, seperti cerita kakak Arifin, dan lainnya. Sedangkan tentang Elida, dia sangat berkontribusi besar dalam pembuatan film ini, ya Elida baru saja meninggal, tapi pasti tetap dikenal oleh kewan-kawan film di Indonesia.

 

8.      Cok Gung (Movart)         : Apakah film ini ada bagian behind the scenenya ? karena menurut saya, behind the scene itu dapat dijadikan bahan belajar membuat film untuk saya yang pemula dan dari kalangan arsitek, bukan film.

Jawaban   : Disini memang tidak ada. Tapi, kita ada beberapa foto saat proses pembuatan film ini, coba cek di Youtube. Jadi, untuk belajar film ya nonton film sebanyak-banyaknya. Saya juga dari kalangan akuntansi, bukan film. Sangat jauh sebenarnya.

 

9.      Erick (arsitek)      : Apa screening film ini akan ditayangkan ke pemerintah, kementrian, atau gedung MPR begitu ? Sepertinya mereka perlu tahu.

 

10.   Raka (Mahasiswa ilmu politik) : Saya merasa, terkadang kita dibuat untuk keadaan begaimana pun agar tetap pro pemerintah. Adegan menarik dalam film itu seperti pelaksanaan pemilu yang mereka mengikuti suruhan untuk memilih calon presiden yang mana. Menurut saya, jangan ke parlemen, nanti mereka memanfaatkan sumber suara dan kepolosan dari masyarakat ini. Lebih baik ke KPU, agar KPU dapat memberikan penyuluhan mengenai pemilu. Mungkin juga ke Mendiknas, agar ada beasiswa untuk kasus-kasus seperti itu.

 

Jawaban : Kita belum ada memikirkan untuk tayang ke pemerintah. Kita mulai dari masyarakat dengan roadshow. Kita perlu banyak orang Indonesia yang menonton film ini dan tahu keadaan di desa ini.

 

Sesi diskusi berakhir sekitar pukul 22.00  Wita. Acara ini pun ditutup dengan foto bersama.

 

528314_440551862642174_5605598

 

 

 

Eka Kusuma Rimayanti & Putri Puspitaningrum

Posted via email from youth corner bali

No comments: