Saturday, February 18, 2012

Cerpen 'Rumah Baru' oleh: Ayu Diah Cempaka

08_cerpen

Rumah Baru
oleh : Ayu Diah Cempaka

Pagi ini aku dan Ibu bangun lebih pagi. Aku tidak sempat memastikan ini jam berapa. Bahkan sadar penuh dari tidur pun belum. Truk yang Ibu pesan semalam tiba 30 menit setelah kami bangun. Semua barang – barang yang akan dibawa ke rumah baru kami sudah dikemas sejak 3 hari yang lalu. Terlihat bahwa kami memang ingin sesegera mungkin keluar dari pekarangan rumah ini. Tapi Ibu percaya pada hari baik. Termasuk untuk melakukan sesuatu yang tidak baik, seperti pindah dari rumah keluarga besar suaminya. 

Rumah kami tidak diisi oleh banyak benda berharga. Hanya barang – barang pokok seperti tempat tidur tanpa dipan, selimut, baju – baju, lemari, kursi, meja, bantal, sebuah televisi dan radio tua, buku – buku bacaan. Sepertinya itu saja. Ibu memutuskan untuk tidak membawa satu pun foto atau lukisan Aji1. Katanya, cinta tidak perlu diingatkan oleh benda – benda yang terlihat. Sebab cinta itu sendiri tidak terlihat. Maka kau harus mengenangnya dengan cara yang tidak terlihat pula. Apa itu, Bu? Kutanya padanya. Ia hanya tersenyum.

Ibuku hanya hidup dengan senyuman. Katanya karena tersenyumlah orang dapat bertahan hidup. Senyum pulalah yang membuat Aji jatuh cinta pada Ibu. Aku mengenal Ibuku karena senyumnya. Apapun yang orang katakan padanya ia hanya tersenyum. Ketika hubungannya tak mendapat restu dari keluarga Aji, ia juga tersenyum. Saat melihat aku marah karena diperlakukan berbeda dibandingkan cucu – cucu lain di rumah ini, Ibu hanya mengelus kepalaku dan memintaku untuk tersenyum. Beranjak dewasa, aku mulai membenci senyum Ibuku. Senyumnya selalu membuat orang – orang di keluarga ini semakin berlaku tidak wajar padanya, pada kami berdua. Pernah sekali waktu kutanyakan padanya kenapa ia tidak marah saja saat pamanku bercerita pada tetangga bahwa Ibuku bukan perempuan baik – baik, Ibu lagi – lagi hanya menjawab dengan senyuman. 

Belakangan ini, aku sibuk membayangkan betapa bahagianya hidup kami kelak di rumah baru. Tanpa Niang, paman, bibi dan saudara – saudara sepupu yang selalu menganggap kami lebih rendah dari mereka. Ibuku perempuan biasa yang tidak datang dari keluarga berkasta. Ia tidak pernah tahu bahwa menjadi seorang jero2 adalah nasib buruk. Terlebih ia tidak datang dari keluarga kaya raya. Ibu bertemu dengan Aji saat di bangku kuliah. Aji mengulur skripsi hingga 3 tahun karena lebih suka menghabiskan waktu bersama kawan – kawannya yang juga gemar foto. Akhirnya, ia lulus pada tahun yang sama dengan Ibu. Ajiku sangat berbeda dengan keluarganya. Kau tidak akan pernah menyangka bahwa Ajimu berasal dari keluarga ini. Begitu cerita Ibuku. Ia tidak pernah membedakan derajat orang hanya karena kasta atau hartanya. Itulah yang membuat Ibu tertipu. Ia pikir keluarga Aji sama baiknya dengan suaminya itu. Awalnya keluarga Ibu pun khawatir dengan pernikahan putrinya. Tapi setelah melihat sosok Ajiku, mereka percaya bahwa Ibu akan bahagia bersama lelaki pilihannya. Benar saja, Ibu memang bahagia, namun itu tidak bertahan lama. 

Aku selalu ingat hari itu. Aku sedang bermain boneka di rumah temanku. Ibu menjemputku dengan mata sembab dan wajah memerah namun tetap berusaha tersenyum. Ia mengetuk pintu dan berbicara dengan orangtua temanku. Kemudian mereka berpelukan, pundak Ibu diusap, seperti memberi pesan untuk lebih sabar. Ibu mengajakku pulang. Saat itu aku menolak karena sedang asik bermain dengan boneka beruang biru. Kemudian ibu memintaku dengan senyum yang tidak biasa dan entah mengapa aku langsung menurut. Kami berjalan dengan langkah agak cepat. Sepanjang jalan, Ibu hanya memegang tanganku tanpa memberitahuku sesuatu. Aku ingin bertanya apakah yang terjadi, namun kuurungkan. Sesampainya dirumah, aku melihat Niang duduk di bale dangin3. Bibiku memijit – mijit pundaknya. Matanya juga sembab seperti Ibu, namun tangisnya sangat berlebihan hingga menarik perhatian semua tetangga yang datang. Seorang paman tak kukenal datang menghampiriku. Ia memelukku, mengusap – usap kepalaku kemudian mengajakku turut bersamanya. Aku digendong menuju bale dangin. Seseorang tidur disana. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena dihalangi oleh kain – kain tebal yang membalut tubuhnya. Saat aku mendekat menuju tempat tidur di sisi kanan bale dangin dan hampir mengenali bahwa pria yang berbaring disana adalah Ajiku, Niang tiba – tiba menyuruh paman yang menggendongku untuk membawaku pergi dari hadapannya. Niang membentak – bentak sambil terisak. Aku lupa apa saja yang ia ucapkan. Tapi ia memaki Ibuku hingga semua orang yang hadir terdiam sambil sesekali melihat ke arah Ibuku. Itu yang paling kuingat. Niang menuduh semua ini karena Ibuku. Seandainya saja Aji tidak menikah dengan perempuan seperti Ibu, ia tidak akan meninggal hari ini. Niang menyebut Ibuku kutukan bagi keluarga ini. Saat itu usiaku 10 tahun, dan aku ingin sekali melempar Niang dengan apa saja, karena ia satu – satunya orang yang membuat Ibuku yang biasanya tersenyum tiba - tiba menangis sesenggukan. Saat itu adalah pertama kalinya aku merasa kehilangan Ibuku. Ia biasanya selalu berada disampingku. Tapi kali ini ia berdiri seorang diri dan tidak di dekatku. Aku asing melihatnya menangis. Ia seperti bukan Ibuku sebab Ibuku tidak pernah menangis. Aku lebih merasa kehilangan Ibuku daripada Ajiku, sebab saat itu aku masih belum yakin bahwa laki – laki yang berbaring di bale dangin itu adalah Ajiku. Aku tahu ia akan sembuh dari sakitnya. Aji hanya batuk – batuk karena terlalu banyak makan cokelat. Beberapa hari lagi ia akan keluar dari rumah sakit. Itu yang selalu Ibu katakan dan aku percaya Ibu. 

Keesokan harinya Ibu tidak keluar dari kamar. Tapi hari itu hingga seterusnya ia tersenyum dan tidak pernah menangis lagi. Ia menyiapkan sarapan, membantuku mengerjakan PR, dan membersihkan rumah seperti biasa. Tapi di malam hari ia menangis di tempat tidur sambil memeluk foto Ajiku. Aku mengetahuinya di suatu malam, saat aku kehausan dan menujuh dapur untuk mengambil segelas air. Tangisnya kecil namun terisak. Saat itu aku merasa kembali ke hari dimana Ibu menangis di hari kematian Aji. Aku merasakan udara yang sama seperti saat itu ketika mendengar tangisan Ibu. Dan perasaan yang sama muncul kembali setiap aku melihat Ibu menangis atau tidak tersenyum seperti biasa. 

Saat Aji meninggal hingga 3 bulan setelahnya aku tidak pernah menangis. Suatu pagi di hari Minggu aku bermain lompat tali bersama dua orang sepupuku yang usianya lebih tua dariku. Kemudian dengan langkah terburu – buru Niang menghampiri kami. Kemudian ia menarik tanganku dan menjauhkanku dari kedua cucunya. Ia menyuruhku pergi dan tidak memperbolehkanku untuk bermain lagi dengan sepupuku. Kami memang selalu diperlakukan berbeda. Aku seperti bukan cucunya, begitu menurutku. Saat itu aku sama sekali tidak sedih. Aku hanya benci melihatnya mengganggu waktu bermainku dengan kedua sepupuky yang bahkan menerimaku di tengah mereka. Aku mengambil beberapa batu kerikil yang berserakan di halaman. Aku melemparnya ke arah Niang. Ia meneriakiku, mengataiku anak kurang ajar. Kemudian aku berlari meuju rumahku yang letaknya paling terpisah dari rumah lainnya. Ia mengejarku dengan langkah cepat. Saat itu pula Ibu langsung keluar dari rumah, mencari tahu apa yang terjadi. Ibu menghampiriku dan memegang kedua pundakku dari belakang. Niang datang dengan wajah marahnya. Ia mengatai Ibuku perempuan tak tahu diri, tidak bisa mendidik anak dan banyak lagi makiannya pada Ibuku. Aku yang saat itu tidak tahan langsung menyuruh Niang berhenti membentak Ibu dan mengancam akan melaporkannya pada Aji. Niang langsung tertawa mendengar ancamanku. Ia bilang orang yang sudah mati tidak akan mempedulikan siapa pun yang masih hidup. Aji sudah tidak peduli lagi padaku dan Ibu. Kemudian ia pergi meninggalkan kami. Ibu menuntunku masuk kedalam rumah. Kami duduk di ruang tamu. Selama beberapa menit kami tidak saling bicara. Kemudian aku bertanya pada Ibu kapan Aji akan pulang. Ibu tidak menjawab. Ia menahan tangisnya dengan senyuman. Aku menghempaskan tubuhku di kursi sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Aku menunduk, hingga kurasakan pahaku basah oleh tangisku yang sama sekali tidak bersuara. Itu adalah petama kalinya aku menyadari bahwa Aji sudah meninggal. Meninggal, bukan pergi jauh ke suatu tempat dan suatu hari akan pulang seperti yang selama ini kuyakini. Aji tidak akan pernah kembali. Berarti aku dan Ibu harus melalui semuanya tanpa Aji. Hari ini, esok, berminggu – minggu, bertahun – tahun. Selamanya. Kami tidak pernah bertemu dengan Aji.

Aku tidak pernah tahu pasti sakit apa yang diderita Aji sampai ia meninggal. Aku pun urung menanyakannya pada Ibu. Suatu hari saat aku kelas 3 SMP, aku menonjok wajah seorang temanku karena mengataiku anak pelacur. Katanya, kalau ibuku bukan pelacur maka Ajiku tidak akan meninggal. Paman dan bibiku juga berkata demikian, tapi kupikir mereka berkata begitu karena mereka memang membenci Ibuku. Aku hanya tidak pernah membayangkan bahwa di sekolah aku punya teman yang mulutnya sama busuk seperti Niang, paman dan bibiku. Bu Dek, tetangga sekaligus teman dekat Ibu akhirnya menceritakan padaku tentang kematian Aji setelah kupaksa. Ajiku terkena penyakit yang tidak diketahui jenisnya. Sampai akhirnya Bu Dek mendengar kabar dari Ibu bahwa Aji terkena HIV/AIDS. Penyakit yang bagi sebagian orang asing dan menjijikan. Ajiku hobi bergonta – ganti tato sejak kuliah. Setelah kematian Ajiku, dua orang teman Aji yang sering ia ajak membuat tato meninggal dengan cara yang sama seperti Aji. 
Beberapa bulan yang lalu Ibu menghampiriku dengan wajah sumringah. Ia mendapat pinjaman dari seorang temannya untuk membeli rumah. Hanya dua kamar dengan halaman depan yang tidak terlalu luas. Aku sangat gembira sebab letaknya cukup jauh dari rumah yang kini kami tinggali. Seminggu yang lalu aku dan Ibu memberanikan diri menghadap Niang untuk mohon ijin pindah dari rumah. Tanpa melihat wajah kami, Niang mengatakan kami tidak tahu diri, dan jika kami pindah, keluarga akan menjadi pembicaraan tetangga. Tiba  - tiba Ibu berdiri dari kursi, kali ini lagi – lagi ia tidak tersenyum. Terlihat jelas ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata bahwa ia lebih baik mati oleh pembicaraan tetangga daripada mati ditimbun hinaan dirumah suaminya sendiri. Ibu menarik tanganku, kemudian kami keluar dari ruang tamu Niang. Saat itu aku sempat menoleh ke arah Niang. Nampaknya ia ingin marah, namun tertahan karena kaget melihat apa yang baru saja Ibuku katakan padanya. 

Aku mengeluarkan ponsel dari kantong jaketku. Sepanjang perjalanan di dalam truk aku memperhatikan segala hal yang kami lewati. Rasanya seperti baru saja keluar dari rumah tahanan. Aku mulai belajar menghirup aroma kebebasan. Baunya menyenangkan. Aku mulai menyusun apa saja yang akan kulakukan setelah kami tinggal di rumah baru. Mungkin aku akan membeli seekor anjing untuk dipelihara, seperti yang dimiliki oleh saudara sepupuku.

Kami tiba di rumah baru kami saat langit di timur mulai berubah oranye. Aku memasuki pintu gerbangnya yang berwarna putih. Melihat rumah ini seperti melihat kebahagiaan. Mungkin akan lebih lengkap bila Aji masih hidup. Aku seperti orang bodoh yang baru pertama kali melihat rumah. Aku masuk ke dalam rumah, memandangi pintunya, meraba dindingnya kemudian belajar mengenali setap sudut yang ada di dalamnya. Kemudian aku bergegas keluar, membantu sopir truk dan ibu menurunkan barang, agar lebih cepat kami mengaturnya maka lebih cepat pula aku bisa tinggal di dalam rumah baru ini. Belum sampai setengah barang diturunkan dari truk, tiba – tiba seorang laki – laki sebaya Ibu menghentikan mobilnya di depan rumah baru kami. Ibu menyapanya dengan ramah. Ia adalah pemiliki calon rumah kami yang sebelumnya. Wajahnya Nampak cemas. Ia mengajak Ibuku berbicara agak jauh dariku. Perlahan wajah Ibu berubah sedih, marah, bingung, aku tidak dapat memastikan ekspresinya. Pemiliki rumah baru kami itu kemudian mengelus pundak Ibuku, ia mencakupkan kedua tangannya di dada seperti meminta maaf. Kemudian pelan – pelan ia meninggalkan Ibu, masuk ke dalam mobilnya dan berlalu dari pandangan kami. Aku dan sopir truk berhenti menurunkan barang. Ibu berjalan pelan ke arah kami. Kali ini perasaan asing itu kurasakan lagi, Ibu tidak tersenyum. Ia menyandarkan tubuhnya di pintu truk. Ibu hampir menangis saat ia tengah mencoba memberi tahu kami sesuatu. kami tidak bisa tinggal disini, rumah ini sudah dibeli dengan harga yang lebih mahal. Aku tersentak. Baru saja aku membayangkan akan bahagia tinggal di rumah baru ini bersama Ibu. Rasanya seperti tidak seorang pun mengijinkan kami memulai hidup baru yang lebih baik. Aku menahan rasa kecewa. Tak tega melihat Ibu yang sepertinya hampir putus asa. Kami diam sejenak. Sopir truk yang Ibu sewa berusaha menenangkan Ibu. Aku pun mencoba mengerti bahwa kami memang tidak punya cukup uang untuk mendapatkan rumah ini. Ibu menatap ke bawah dengan pandangan kosong. Akhirnya aku memberanikan diri bertanya, “Siapa yang membeli rumah ini, Bu?”. Ibu mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata berkaca – kaca. Setengah berbisik Ibu menjawab, “Niang”

Aji1 : Bapak
Jero2 : sebutan untuk perempuan biasa (tidak berkasta) yang menikah dengan pria berkasta
Bale dangin3 : balai untuk menaruh jenazah

Posted via email from youth corner bali

No comments: