The Artist
“Kebisuan Versus Berbicara”
Apa yang paling pertama kita pikirkan jika mendengar kata “film bisu?” Tanpa warna, hitam putih, tua, ketinggalan jaman,cinematography masih standar, scoring dengan orchestra dan pemainnya berwajah klasik, isi cerita sepanjang film hanya memperlihatkan aktivitas masyarakat jaman dulu yang monoton, bahkan ada yang berpendapat film bisu itu membosankan. Salah besar setelah kalian menonton film The Artist.
Film peraih penghargaan Academy Award sebagai film terbaik ini bercerita tentang kehidupan George Valentin (Jean Dujardin) sebagai seorang artis film bisu yang berjaya di era tahun 1929. Sebagaimana halnya seorang artis pastinya memiliki banyak pengemar wanita, salah satu pengemarnya adalah Peppy Miller (Berenice Bejo) seorang gadis biasa-biasa saja namun memiliki sebuah obsesi dan rasa ketertarikan yang tidak biasa kepada George Valentin. Pada suatu ketika di acara premiere film terbaru George Valentin, Peppy Miller secara tidak sengaja menjatuhkan bukunya dan spontan ia mengambil kesempatan untuk lebih berdekatan dengan laki-laki yang dipujanya tersebut. Alhasil tindakan spontanya mencium pipi artis pujaanya tersebut menjadi berita besar yang terbit di headline utama di koran Variety. Mengambil kesempatan emas tersebut, Peppy Miller yang memiliki obsesi sangat besar untuk semakin dekat dengan pujaanya itu mengikuti audisi yang sedang diadakan oleh perusahaan rumah produksi Kinograph, yakni rumah produksi yang banyak menghasilkan film bisu paling populer di eranya. Singkat cerita, Peppy Miller berhasil menjadi seorang artis terkenal menyamai ketenaranya dengan George Valentin. Prubahan pun terjadi seiring perkembangan jaman dimana masyarakat lbh menyukai sebuah terobosan baru yakni film “berbicara”. Akan tetapi justru ketenaran Peppy Miller dengan sikapnya yang tidak menghargai film bisu dibarengi dengan terobosan baru dalam dunia perfilman tersebut membuat kehidupan George Valentin semakin terpuruk. Disamping itu faktor minat masyarakat dalam menonton juga berangsur-angsur berubah, mereka lebih suka dengan “fresh meat” alias artis-artis muda yang bisa berbicara ketimbang artis tua yang hanya bermain dalam sebuah film bisu. Istilahnya bisa dibilang “masyarakat bosan hanya melihat, mereka lebih suka hal baru yaitu mendengar”. Disinilah idealisme seorang artis film dipertaruhkan dan pada akhirnya bukti bahwa bakat serta kreatifitas artislah yang membuat eksistensinya tetap bertahan. Seperti apa kreatifitas yang mengalahkan inovasi baru itu? Terjawab di akhir film J
(foto yang menjadi berita utama di koran Variety dengan headline “Who’s That Girl?”)
Menurut saya, salah satu aspek film bisa dikatakan sebagai film yang bagus atau bermutu itu adalah film yang dapat memberikan sebuah informasi baru atau membuat penontonnya mendapatkan pengalaman dalam hal baru yang belum pernah mereka dapatkan dari film lainnya. Hal inilah yang banyak saya dapatkan setelah ataupun saat sedang menonton film The Artist. Film ini sangat pintar mengambarkan bagaimana kehidupan artis bisa berubah hanya karena inovasi baru di teknologi perfilman yaitu “berbicara” (bahkan mungkin kita tak pernah berpikir sampai sejauh itu akibatnya).
Selain itu melalui film ini kita bisa mengerti bagaimana sebuah karya harus ikut berubah mengikuti perkembangan keinginan pasar (mungkin inilah penyebabnya film horror Indonesia yang bertemakan sex sempat marak). Tidak hanya itu, selama menonton secara tidak sengaja kita juga belajar bagaimana teknis perfilman jaman dulu, ketika hanya masih hitam putih, bagaimana teknis pembuatan filmnya yang masih memakai meteran untuk mengukur jarak kamera dengan pemain, dan bagaimana teknis mereka dalam pembuatan poster film. Wow..! bayangkan dalam 1 jam 36 menit itu saya belajar banyak hal!
Yeah..thats why I love this movie J Rate 9/10 (VERY RECOMMENDED buat kalian yang ingin menikmati film dengan cara baru)
-Shiho-
No comments:
Post a Comment