Thursday, March 29, 2012
Undangan Makan-makan di Sloka Institute, 31 Maret 2012 | HBD @slokainstitute
Apa Keunikan Bisnis Anda?
via Business and Beyond by roniyuzirman on 3/27/12
Bisa menghadiri seminar dengan pembicara Pak Teddy P. Rachmat adalah kesempatan langka dan berharga buat saya beberapa waktu lalu.
Kalau di luar ada Jack Welch, di sini TP. Rachmat adalah Jack Welch-nya Indonesia.
So, apa yang dikatakan beliau, sebaiknya didengar dan dipercaya.
Salah satunya adalah soal keunikan bisnis.
Bisnis kita itu harus punya keunikan.
Kalau tidak ada, you are going no where, kata Pak Teddy.
Tidak mudah menemukan keunikan bisnis kita. Bahkan rata-rata perlu sampai 4 tahun seperti kata Jim Collins di buku Good to Great.
Keunikan itu tidak harus sesuatu yang canggih atau hi-tech. Sesuatu yang sederhana pun bisa dijadikan keunikan.
Contohnya adalah salah satu bisnis Pak Teddy, Assa Rent yang dulunya bernama Adira Rent.
Keunikannya sederhana dan hanya ada 2: service excellent dan excellent maintenance. Hanya 2 itu saja. “It’s very simple”, kata Pak Teddy.
Tapi keunikan atau kelebihan itu terus disempurnakan dan terus dipertajam selama bertahun-tahun. Bahkan untuk service excellence itu, semua supirnya harus bisa bahasa Inggris dan ilmu bela diri.
“Kami harus jadi number one in the world untuk kedua keunikan tersebut”, kata Pak Teddy.
“Kami menerapkan ‘fanatical discipline’ untuk kedua keunikan tersebut”.
“Awalnya tidak mudah menemukan keunikan. Ada lebih dari 10 keunikan yang diinventarisir. Akhirnya kami memilih hanya 2 itu saja untuk dibela mati-matian”.
Saya teringat cerita Pak Tung DW tentang seorang pegulat yang cacat tangan dan kaki yang ikut kejuaraan dunia. Ia tidak bisa berdiri. Jadi, untuk melawan lawannya, ia hanya tiduran terlentang.
Oleh pelatihnya ia hanya dibekali 1 jurus saja. Tapi itu jurus dahsyat, sehingga ia pun berhasil mengalahkan lawannya di babak awal.
Menjelang babak berikutnya, ia minta tambahan jurus lain kepada gurunya.
Gurunya hanya bilang, “Jurusnya hanya itu saja, tapi kamu lakukan dengan lebih cepat dan lebih kuat lagi”.
Ia pun menuruti kata sang guru dan berhasil menang dan melaju ke babak yang lebih tinggi.
Ketika sampai di semi final, ia ragu dengan jurus yang dimiliki dan kembali meminta kepada sang guru jurus yang lebih dahsyat.
Gurunya tetap tidak mau memberikan jurus baru. “Gunakan saja jurus itu, tapi dengan lebih cepat dan lebih kuat lagi”.
Ia menuruti titah sang guru dan ternyata menang lagi hingga sampailah di babak final.
Kembali ia meminta jurus baru untuk melawan lawan yang ‘best of the best’ di babak final itu.
Jawaban sang guru tetap sama. Tidak ada jurus baru. Pakai saja jurus yang sama tapi dengan lebih cepat dan lebih kuat lagi.
Ia tidak punya pilihan kecuali menuruti perintah sang guru dengan ‘fanatical discipline’.
Akhirnya ia menjadi juara di final dengan hanya 1 jurus andalan.
Kurang lebih ceritanya sama dengan cerita Pak Teddy Rachmat ini.
So, mari temukan keunikan bisnis kita. Cukup 1 atau 2 hal saja yang tidak dimiliki oleh pesaing. Asah terus keunikan itu dengan ‘fanatical disciplin’, disiplin yang benar-benar fanatik.
Filed under: Business

Workshop Foto : “Berpikir memotret, memotret itu berpikir” (DOK 27) | 31 Maret 2012

Wednesday, March 28, 2012
Sinema @BentaraBudaya Bali: FILM ANG LEE DAN WAYNE WANG | 30 - 31 Maret 2012

'Kompetisi Musik Kreatif' oleh Komunitas Kertas Budaya, Negara

Launching (emeh serem bahasanya) Gdubrak.com :D | 31 Maret 2012

Cok Sawitri at KAFE BAHASA | March 30, 2012

Ecologically Sustainable Solutions - Exhibition & Workshops by Little tree bali sari organic cafe and ROLE Foundation

Monday, March 26, 2012
acara RAOS (Ruang Apresiasi dan Olah Seni) di GEOKS Singapadu, Gianyar | 30 & 31 Maret 2012

Rent Society (Masyarakat Rental)
via Desain Grafis Indonesia by sikapbudaya on 3/25/12
Oleh: FX Widyatmok
Rent Society, selanjutnya ditulis masyarakat rental (masyarakat sewa), digunakan untuk menggambarkan sebagian praktik desain komunikasi visual. Paling tidak, istilah tersebut dapat menggambarkan konteks maraknya suatu praktik desain saat ini. Istilah masyarakat rental dipahami secara sederhana, yaitu masyarakat yang diperantarai oleh sewa-menyewa (hampir bisa dipastikan sewa menyewa sebagai tujuan). Dalam konteks desain lantas dapat dimengerti yaitu suatu (praktik) desain yang lahir atas sewa-menyewa tersebut. Tulisan ini berusaha taktis dan tidak panjang lebar, dan sangat mungkin terdapat bolong-bolong pengetahuan di sana sini. Meski demikian, tulisan ini bertujuan memberi/menawarkan konteks baru budaya masyarakat sebagai tempat lahirnya suatu praktik desain.
Di samping itu tulisan ini berangkat dari praktik desain, bukan dari teori yang telah ada. Harapannya, dari praktik desain tersebut dapat memberi gambaran masyarakat desain saat ini. Perkara ia mau jadi teori atau bukan, tulisan ini tak berpretensi membahas hal tersebut. Paling banter, tulisan ini merupakan pengidentifikasian budaya (men)desain saat ini. Data-data diambil dari pengalaman saya sendiri, baik selama di kampus maupun dalam pertemanan. Dari situ, gagasan tentang masyarakat rental dirasa kian marak.
Budiman dan Penyelidikannya berjudul “Kisah dari Sebuah Republik Bernama Twitter”
Budiman, seorang sastrawan dan dosen UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), melakukan penyelidikan praktik pengguna(an) twitter lewat sebuah pertanyaan:
“Sebagai salah satu pengguna twitter (@lelakibudiman), saya cukup lama dihinggapi rasa penasaran, apa alasan seseorang memiliki alter akun. Rasa penasaran tersebut saya tweetkan pada tanggal 18 Maret sebagai berikut:
Lalu dijawab oleh sebuah akun sebagai berikut:
Di akhir tulisan Budiman tersebut, yang diunggah di media.kompasiana.com, dia menyampaikan bahwa:
“Ketika ada klien yang ingin membuat akun twitter tapi tidak mau dari nol (langsung dengan jumlah follower sekian), Aryan akan merekomendasikan klien tersebut untuk mencari dan membelinya dari agency lain. Penjelasan Aryan tersebut mengingatkan saya pada film #republiktwitter. Dalam film tersebut diceritakan ada sebuah biro jasa berkedok warung internet yang menyediakan layanan membuat akun-akun twitter. Harga tiap akun yang ditawarkan bervariasi, tergantung jumlah followernya… Dengan apa yang dijalaninya sekarang, Aryan mengaku bahwa ia bisa mendapatkan penghasilan yang cukup. Apa yang dilakoni Aryan setidaknya menjadi bukti bahwa hal yang berawal dari main-main bisa menjadi sesuatu yang bukan main… Masih berpikir untuk membuat alter akun?
Inti tulisan tersebut yaitu bahwa memiliki akun twitter lebih dari satu bisa digunakan untuk mencari keuntungan ekonomi, salah satunya untuk dijual kepada klien. Tentu, dijual di sini artinya sebuah akun memiliki sejumlah folloower yang dalam penilain saya merupakan konsumen (modal). Tentang hal ini, yaitu sewa menyewa ruang maya kepada klien, bukan hal baru. Sebuah blog yang ramai dikunjungi pun dapat dijadikan ruang beriklan. Namun gagasannya sama, yaitu untuk berkomunikasi kepada khalayak. Di sini mendesain informasi jadi mesin penggerak agar orang-orang mengunjungi sebuah blog atau ngetwit. Pengertian mendesain informasi yaitu mengupload teks-teks yang menarik untuk diklik atau ditwit.
Mural Iklan di Kota-kota dan di Desa-desa Gak Ada Bedanya (Desa Kota Sama Saja)
Tahun 2003, sewaktu lebaran, saya berkunjung ke Kota Tulungagung, tepatnya di Jalan Jayeng Kusuma, sebuah Jalan Propinsi yang menghungkan Kota Kediri ke arah Surabaya. Beberapa toko/kios di sepanjang Jalan Jayeng Kusuma tersebut “dicat” logo salah satu merek rokok, nuansa coklat. Tak lam setelah itu, baik kota maupun desa, kian marak “dicat” berbagai brand rokok dan terutama provider telepon seluler. Tentu ada nalar berbeda untuk tiap daerah (untuk tidak mengatakan sebagai awal gejala yang sama). Di Tulungagung, si rokok coklat tersebut mau menyaingi pesaing terdekatnya. Yaitu si rokok merah asal Kediri. Sedangkan, “mural iklan” di Kota, katakanlah Yogyakarta, ia lahir dengan ada pengaruh mural sebelumnya yang sempat menjadi wacana seni kota.
Penelitian (skripsi) Imam “Mambo” di DKV ISI Yogyakarta tentang mural iklan coklat di sepanjang Jalan Propinsi di atas menyampaikan bahwa (hampir) semua elemen masyarakat di situ mendukung pengecatan warung/kios secara demikian. Elemen masyarakat di sini yaitu kepala desa, pemilik warung/kios, tetua desa, dan pemerintah daerah. Pada umumnya mereka mengajukan alasan bahwa pengecatan bermerek tersebut secara tidak langsung menjadikan daerah merena jadi nampak maju. Nah, di sini peran merek membawa kemajuan-kemajuan karena sebelumnya pemerekan tersebut marak ada di kota-kota besar, bukan di kota seperti Tulungagung atau Nganjuk. Bisa jadi ini nalar pembangunan ala Orde Baru bahwa representasi pembangunan diwakili oleh merek-merek pemain besar alias kapital(isme).
Baik di Tulungagung, Nganjuk, Yogyakarta, atau Kulon Progo dan derah lain, pengecatan beriklan tersebut kian marak mengisi tatapan masyarakat di ruang-ruang kota hingga pelosok. Semua ditatapkan pada presentasi-presentasi yang mirip. Penelitian lapangan mahasiswa Mata Kuliah Seminar DKV ISI Yogyakarta atas “mural iklan” di Yogyakarta mendapati praktik tidak adil antara pemilik tembok dengan penyewa.
Belum ada kesepakatan tarif harga di antara pemilik tembok maupun penyewa. Namun, ada juga yang memberi alasan kebaruan dan keawetan seperti tembok jadi bersih lagi, baru lagi. Sayangnya, pemerintah ataupun PPPI sebagai lembaga yang diwenangi mengelola hal-hal seperti ini masih gagap, ambigu, bahkan ambivalen. Beberapa pemilik tembok menyampaikan pernyataan yang, mungkin warisan Orde Baru, manakala ditanya surat kontrak sewa tembok. Ada yang mengatakan “lupa di mana”, atau “hilang”, namun ada pula yang alasan kesungkanan “jangan, tidak enak nanti harga jadi tahu dan membuat iri yang lain”. Sayangnya, masyarakat pemilih ruang sewa tersebut belum dilindungi oleh undang-undang seperti ketentuan mengembalikan kepada kondisi semula. “Lha dicat wae wis seneng, dadi gak usah dibalekne maneh, rak yo metu ragat.” (Dicat saja sudah senang, maka tak perlu dikembalikan lagi, nanti keluar biaya.) Ringkasnya, baik desa maupun kota, pemilik tembok rumah kian diuntungkan karena bisa menyewakan ruang tersebut kepada merek tertentu. Hampir sama dengan halaman blog bukan? Baik keduanya, tembok rumah ataupun halaman blog, disertai syarat dan ketentuan yang (di)berlaku(kan), yaitu strategis dan marak dikunjungi.
Tentang hal ini pun diapresiasi berbagai pihak salah satunya, antara lain sebuah artikel di internet, berjudul “Pemanfaatan Dinding Rumah untuk Media Iklan”:
“Tembok dari bangunan atau rumah tersebut dimanfaatkan sebagai media dengan komposisi visual yang cukup menarik. Hal ini sangat didukung jika bentuk rumah minimalis atau bahkan kalau perlu hanya berupa tembok/dinding kosong pada sisi yang menghadap jalan. Dinding tersebut akan dicat dan digambar sesuai dengan isi iklan. Beberapa produk yang sudah memanfaatkan media ini antara lain adalah produk providerpenyedia jasa komunikasi telepon, rokok dan beberapa produk lainnya. Di Yogyakarta, saya sudah menjumpai di beberapa lokasi seperti di Ringroad Utara, jalan Kaliurang, jalan Wates dan di beberapa lokasi lain.
Salah satu yang menarik dari pernyataan di atas yaitu “hal ini sangat didukung jika bentuk rumah minimalis atau bahkan hanya berupa tembok/dinding kosong pada sisi yang menghadap jalan”. Pernyataan tersebut sebenarnya merupakan saran desain, katakanlah variabel dalam mendisain rumah untuk keperluan media beriklan.
Sebuah tulisan berjudul “Tembok – tembok Rumah Komersial” (http://irsannewwaver.blogspot.com) menyampaikan demikian : ”
“Yang mungkin menjadi pertanyaan terbesar dalam benak saya adalah berapa orang-orang si empunya rumah tersebut dibayar?? Tapi mungkin mengiklankan dengan model seperti ini lebih murah daripada dengan reklame-reklame raksasa, toh di rumah penduduk ini tidak dipungut pajak. Dan si pemilik rumah pun merasa tertolong karena bebas biaya pengecatan guna “mempercantik” tampilan rumahnya. Dan yang saya lihat tidak hanya operator seluler yang getol, produk rokok pun terlihat menyusup diantaranya. Semakin menambah ramai pemandangan jalan akses Bandara Juanda baru tersebut.”
Pernyataan tersebut juga menjelaskan bahwa pengecatan komersial tersebut terkait dengan visi estetik, yaitu “mempercantik” dan “pemandangan”. Konsep ini dapat menjelaskan perubahan visualitas kota atau desa dari waktu ke waktu di mana estetika selalu terkait dengan usaha pandang-memandang, dan kali ini yang mempercantik pandangan yaitu tembok iklan.
Bagaimana dengan pemerintah daerah/pemerintah kota? Di Yogyakarta, seturut www.delikberita.com, menyampaikan bahwa “Reklame di Tembok Rumah Warga Ditertibkan Pemkot Yogyakarta” ((http://www.delikberita.com). Di situ dituliskan bahwa:
“Reklame yang ditertibkan adalah reklame yang melanggar peraturan daerah izin dan pajak reklame, khususnya reklame dari salah satu provider telepon selular,” kata Kepala Seksi Pendataan dan Pendaftaran Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta Tugiyarto di Yogyakarta, Rabu (20/7)… Kepala Bidang Pajak Daerah DPDPK Kota Yogyakarta Wisnu Budi Irianta mengatakan, pemasangan reklame di tembok rumah warga tersebut mulai banyak dilakukan seiring dengan meningkatnya tren pembuatan mural, atau sejak dua tahun terakhir. “Penertiban seperti ini, memang baru pertama kali dilakukan karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit,” ujarnya yang memperkirakan ada sekitar 50 persen reklame yang tidak membayar pajak. Wisnu mengatakan, kerugian pajak yang dialami pemerintah dengan adanya pemasang reklame nakal tersebut diperkirakan mencapai Rp120 juta per tahun dari 20 titik, dengan asumsi penerimaan pajak daerah sebesar Rp6 juta untuk ukuran 32 meter persegi.
Sayangnya, alasan-alasan yang diberikan oleh pemerintah dilatari hal-hal yang ekonomik yaitu “tidak membayar pajak” yang dibandingkan dengan fakta “kerugian pajak yang dialami pemerintah dengan adanya pemasang reklame nakal tersebut diperkirakan mencapai Rp120 juta per tahun dari 20 titik, dengan asumsi penerimaan pajak daerah sebesar Rp6 juta untuk ukuran 32 meter persegi.” Hal ini mengingatkan saya pada penelitian Imam “Mambo” bahwa ada elemen masyarakat yang tidak diajak bercakap soal ini, setidaknya ada persoalan penting yang tidak dilibatkan sebagai percakapan, yaitu budaya(wan).
Posisi budaya(wan) di sini diharapkan mampu memberi pertimbangan bagaimana menyikapi kian maraknya komersialisasi ruang. Ini penting manakala sikap sebagai budayawan kian masih diharapkan menjadi sikap yang mendasari (menilai) praktik keseharian, misalkan keberatan seseorang yang ditujukan kepada salah satu neox box merek rokok yang, sayangnya, dibolehkan dipasang di lembaga yang bertugas mengayomi dan melindungi masyarakat (polisi) (www.blontankpoer.blogsome.com).
“Kepada pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia , saya sarankan pula untuk menambah wawasannya dalam berbahasa Indonesia. Cermati baik-baik makna copywriting: Obsesi: Siap Melayani Masyarakat! Dengan demikian, aparat Anda juga bisa memahami tugas dan fungsi kepolisian, yang menurut saya melayani dan melindungi merupakan sebuah tindakan aktif yang menyiratkan makna tanggung jawab, sebuah kewajiban dan amanat konstitusional. Bukan sekadar o-b-s-e-s-i…Jujur, saya kuatir, pemasangan neon box pada pos-pos polisi semacam itu merupakan hasil ‘kerja sama’ oknum polisi dan orang-orang periklanan. Sebab di lapangan masih bisa kita jumpai, iklan akan terbebas dari pajak reklame bila bekerja sama dengan ‘pihak-pihak tertentu’ meski lokasinya pada ‘tempat-tempat tertentu’ pula.”

Sumber: www.delikberita.com

Sumber: www.blontankpoer.blogsome.com
Klik untuk memperbesar image
Jadi, Polisi juga bisa disewa ya bung, baik ruangnya maupun memelesetkan motto agar ngeklik dengan slogan sebuah merek kebal kebul.
Rent hingga (ber)Akhir
Data-data di atas sengaja digunakan untuk menggambarkan budaya sewa yang kian marak. Umumnya si penyewa merupakan merek-merek besar salah satunya ditandai beriklan di media-media konvensional (majalah, surat kabar, televisi, radio, dlsb). Twitter ataupun blog bisa menggambarkan sewa ruang dalam artian memberi kepastian jumlah follower atau pengunjung sebuah situs. Desain dalam pengertian ini yaitu pada soal mengunggah teks-teks yang memikat untuk dikunjungi.
“Mural iklan” memberi lanskap lain dalam memandang desain dan keruangan. Memandang di sini terkait dengan aktivitas estetik, alias sedap dipandang(-pandang)i. Maka itu, gerakan mural dalam lanskap seni setidaknya memberi status tembok/dinding di ruang kota, Yogyakarta misalnya. Sedangkan, di sepanjang Jalan Propinsi Tulunggagung, ruang-ruang di situ jadi lahan memenangi kompetisi dengan merek rokok besar terdekat: si rokok dari Kediri.
Lain lagi dengan pos polisi di atas yang mana sebuah desain (slogan) yang tadinya mau meng-keren-kan polisi malah jadi sasaran oleh pihak tertentu.
Bung, saya kira, posisi saya mau sama dengan beliau yang marah-marah terhadap neon box di pos polisi. Meski demikian, lewat tulisan ini, saya cuma mau menawarkan bahwa kita semua sedang bergerak menuju masyarakat sewa, rent society. Di sini, segala hal dinilai dari keuntungan sewa-menyewa, baik ekonomi maupun simbolik. Lantas, semua dinilai sebatas modal, modal, dan modal. Ah bung, kita juga penyewa, urip mung mampir ngombe. Atau seperti ujaran seorang kawan, seniman muda, bahwa hubungan antara nseiman dan galeri yaitu: “Seniman lebih tepatnya bukan disewa, tapi dikawin kontrak, nha posisi seniman lebih pas sebagai sosok yang perempuan.” Ah bung, urip mung mampir ngombe (hidup cuma mampir minum), maka minumlah sebanyaknya sebelum sumur mengering.
Bung, selamat Nyepi, kadang kita kerap memandang Gusti menyewa kita lalu kita marah-marah karena semua tak jalan sesuai rencana. Atau, kita menyewa Gusti sebatas untuk hal-hal tertentu saja. Alamak, salam. (Koskow, Maret 2012)
•••
5 Alasan untuk Kencan dengan Desainer Grafis
biar cewek/cowok ada jeh alasan buat ber-kencan dengan kalian kalian... :)))))
via desainstudio | tutorial Photoshop dan Illustrator, desain grafis dan seni visual by noreply@blogger.com (a-jir) on 3/14/12
Bekerja di depan monitor dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk browsing informasi dan inspirasi menarik di internet memang membuat desainer grafis layaknya seorang geek. Kondisi pekerjaan juga membuat desainer grafis seperti kehilangan kontak dengan lingkungan sekitarnya. Bahkan yang terparah, kebanyakan mungkin kesulitan untuk menjalin hubungan intim dengan lawan jenis. Hanya beberapa saja yang beruntung dikarunai bakat 'play boy' sebelum menjadi desainer grafis. Tapi terlepas dari itu, desainer grafis juga punya beberapa keunggulan yang membuat mereka pantas dijadikan calon pasangan idaman. Check it out..
1) Problem Solver
Pekerjaan sejatinya telah melatih desainer grafis sebagai problem solver (penyelesai masalah). Mereka mengurai, menganalisa, serta melakukan riset, kemudian mencari solusi untuk mentransformasikan ide dan informasi menjadi sebuah pesan visual yang mudah dimengerti.
Desainer grafis terbiasa melakukan itu dalam setiap pekerjaan, dan hal yang sama juga akan dilakukan mereka dalam membangun sebuah hubungan. Enak bukan? Jika kamu adalah salah satu dari sekian banyak orang yang sering punya masalah dengan pasangan, desainer grafis adalah calon ideal yang patut dipertimbangkan untuk diajak berkencan.
2) Pendengar yang Baik
Desainer grafis bukan hanya piawai mencreate dan memanipulasi bentuk visual, tapi mereka juga handal sebagai pendengar yang baik. Tentu saja tidak hanya sekedar mendengar, tapi juga memahami serta mendalami maksud dan tujuan klien agar output yang dihasilkannya nanti juga sesuai dengan harapan si klien.
Sekarang bayangkan jika si klien adalah kamu. Maka apapun yang kamu keluh-kesahkan akan didengarkan dengan sabar dan dipahami dengan baik oleh si desainer grafis ini. Hasilnya bisa ditebak, dia akan memposisikan diri serta sikapnya sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Kalau sudah begini, maka hubungan yang harmonis-pun tidak akan bisa dielakkan.
3) Kreatif dan Inovatif
Pekerjaan menuntut desainer grafis bergerak cepat mengikuti perkembangan teknologi, industri, peradaban, serta cara berfikir yang terus berkembang dari masa ke masa. Itu sebabnya mereka identik dengan inovasi-inovasi yang sarat dengan kreatifitas. Tidak seperti pegawai kantoran yang terus menerus mengerjakan hal yang sama setiap hari sampai pensiun.
Dalam membina sebuah hubungan, hal ini bisa diaplikasikan pada konteks yang sederhana, seperti mencari tempat kencan atau sekedar memberi kado ulang tahun misalnya. Jangan kaget kalau suatu saat, kamu akan berkencan di kuburan, tempat sabung ayam, atau kantor polisi. Kamu akan dibuat merasakan hal baru yang beda dari yang lain, karena style-nya kebanyakan desainer grafis memang sudah begitu.
4) Estetis dan Fungsional
Desainer grafis selalu melihat semua hal berdasarkan dua faktor : Estetika dan Fungsi. Ini adalah rumus sederhana untuk membuat kehidupan kamu menjadi seimbang. Sebagai contoh, ketika banyak orang menghadiahi pasangannya kalung emas dan cincin permata (yang cenderung kepada estetika tapi tidak bagus secara fungsi), desainer grafis mungkin hanya menghadiahi kamu benda-benda yang sejatinya memang kamu butuhkan. Pertimbangan-pertimbangan seperti ini akan membuat kamu jauh dari gaya hidup konsumtif sehingga kamu terbiasa untuk menjalani hidup secara seimbang dan sederhana.
5) To the point
Setiap karya desain grafis hendaknya efektif dan mampu menyampaikan pesan dan informasi secara langsung, bahasa kerennya to the point. Desainer grafis tahu betul kerugian yang akan didapat jika terlalu banyak berbasa-basi. Mereka terbiasa spontan dan bersikap apa adanya. Hal yang sama kemungkin juga akan dipraktekkan dalam kehidupan pribadinya, termasuk kepada pasangannya.
Jadi, jika dia pikir penampilan atau gaya kamu norak maka dia akan mengatakannya secara langsung. Jika belum terbiasa, mungkin kamu akan shock, stress, dan gantung diri. :D Tapi percayalah, sikap seperti ini sangat baik dan tidak membuang-buang waktu. Selain itu, kamu juga akan cepat menyadari kebenaran tanpa terlalu lama tertipu oleh apresiasi palsu dan basa-basi dunia yang berlebihan.
Well done!
Itu hanya opini saya berdasarkan pandangan personal, kamu berhak 100 % untuk tidak setuju. Silahkan berbagi pemikiran melalui kolom komentar! :)
Tentang Penulis![]() email : ajir86[at]gmail.com | twitter : @desain_studio | all post by Ajir |
Junior Chef Cooking Competition Indonesian “Healthy Food” Innovation –Main Dish

Motivation
via Dale Carnegie Blog - Corporate Training, Leadership Training, and Sales Training from Dale Carnegie Training® by Caug124 on 2/24/12
Leaders respect and value the differences in others. In times of uncertainty, you accept that your available human resources are your only sustainable competitive advantage. When the people you lead don’t perform at acceptable levels, you must sometimes exert your influence. Sometimes you don’t have authority to make them do what you think they should do. In those situations, you must often accept whatever they give you or try to find ways to influence or inspire them to want to do what you believe they should do. There are five primary reasons people underperform. Understanding the reasons behind nonperformance is the first step to using your abilities to influence others effectively and without resorting to manipulation.
Reason:
I don’t know what to do…
Solution: Educate — If people don’t know what to do, you can get them what they need to get past this obstacle. Show people what they need to do by building a strong foundation for their performance during new employee orientation and the on-boarding process or later during education and development opportunities. Unless people clearly understand what they need to do, they will make mistakes or allocate their time to the tasks inappropriately.
Reason:
I don’t know how to do it..
Solution: Train — When they don’t know how, you can get them the practice and skills they need to begin to move forward. Training is the answer. Take people through the step-by-step process of performing tasks and how the correct execution of those steps creates success for them and the organization.
Reason:
I don’t believe I can…
Solution: Coach — This area reflects your confidence in their ability to perform. It is important to show them that the job can be done and that they can do it. Coaching is not just a matter of cheering your employees on, but of helping them see why they have been selected to perform the task or why they have been appointed to the team. Instill in them a belief in themselves and the confidence to use past successes as a stepping stone to future opportunities.
Reason:
I don’t know why…
Solution: Vision — When other people don’t see the reason behind your directions, you need to get their support to move forward. This is often a trust issue. A senior leader’s vision for the organization is a good start, but employees also need to know how they fit into that vision and why their organizational processes are critical to accomplishing the vision.
Reason:
I don’t want to…
Solution: Motivate — This is the most challenging reason people underperform—when people know what to do and how to do it, but they are not motivated enough to do it or they feel they have a better way. Sometimes people even try to sabotage the process to slow down changes. In this situation, you must use your influence to get results. Motivation is the key. If people know what to do, how to do it, believe they can do it, and know why they should do it, non-performance must be due to some other barrier that may not be immediately discernable. Look at how the organization is inspiring its employees. Are they being kept busy without knowing how their activities relate to the organization’s mission or vision? Inspired employees have the internal desire to achieve the vision.
Related posts:
- The Coaching Process The Coaching Process Coaching is a major responsibility for every...
- Proper Project Planning = Direction and Perfection The ability to plan projects, both large and small, simple...
- Staying on Top of the Change Process Engaging workplace change can be an unpredictable experience because processes...
PERSONAL BRANDING for Career in Business World or to become Successfull Entrepreneur | 29 Maret 2012

How to Create a Healthy Fast Food Menu for Home
via How to of the Day on 3/25/12
Fast food is quick and easy, but most of it really isn't that healthy. Yet, depriving yourself of it all the time is a bit of a bore, so there is a solution––make your own fast food at home. It won't be quite as fast, but it can be many times healthier!
Edit Steps
- Make a list of the tasty fast food that you normally order when you want to eat out. Common examples include:
- Burgers and fries with sugary soda drinks or milkshakes
- Pizza
- Fried chicken
- Fish and chips
- Tex Mex
- Curry and fried food such as samosas or onion bhaji
- Hot dogs, etc.
- Reinvent the fast food meals you and your family eat. You have a lot of power to reinvent and improve the healthiness of fast food in your home environment. Select the options you enjoy the most and then follow some of the examples in the following steps to improve the fast food menu served at home.
- Always use the best and freshest ingredients for optimal nutrition.
- Prefer healthier oils over saturated, trans-fat or solid fats. A recent study in the British Medical Journal stated that olive and sunflower oils are good oils that do not appear to be implicated in heart disease.[1] All the same, try to avoid deep frying very often.
- Revamp the burger and fries option. Burger and fries doesn't have to be a fat, sugar and empty calorie experience. It can be a truly satisfying and tasty one that has plenty of nutrition:
- Choose quality burger meat to make burger mince from. Make your own patties and use olive or sunflower oil to fry them, or bake them.
- Choose vegetable based burgers instead of meat ones.
- Select wholemeal or wholegrain buns over white buns.
- Add lots of salad ingredients, including sprouts, tomatoes, different styles of lettuce, etc.
- Bake the "fries" (or chips/wedges) instead of frying them. Cut fresh potatoes into big wedges and bake on a parchment covered tray. If you need oil, brush a little olive oil over them prior to baking.
- Make a low-sugar or sugar-free ketchup for the burger.
- Add plenty of salad fillings to the burger.
- Try these recipes: Salmon burger, Grilled Foreman burger or a turkey burger. For more homemade burger ideas, see Homemade burgers.
- Curtail the fat-soaked pizza and turn it healthy. Pizza can be fattening if you're not careful how much you're eating take out versions. Here is how to improve it:
- Choose a thin, wholemeal pizza base. Try to make a wholemeal base using wholewheat, spelt, or other wholegrain flour in place of white flour.
- Use non-stick trays or parchment paper on the pizza tray instead of adding more fat to prevent sticking.
- Choose lean meats. Instead of pepperoni, salami, sausage and bacon, choose lean lamb strips, shredded chicken breast, ham or prawns.
- Reduce the amount of cheese used by at least half or use low-fat cheese. Alternatively, don't even add cheese.
- Use vegetable toppings instead of meat toppings.
- Don't have with garlic bread but do have with plenty of fresh salad.
- Don't forget other Italian fast options such as pasta or lasagna with lots of vegetables in the sauce and homemade garlic bread using real butter (not adulterated) or olive oil and fresh garlic.
- Make homemade fish and chips. Make homemade fish fingers and make baked chunky chips. Don't add too much salt and be sure to have with a salad on the side and some homemade ketchup (tomato sauce).
- Create fried chicken with healthy oils and shallow frying. Instead of deep frying, fry in shallow oil, using a healthy oil like olive or sunflower oil.
- See How to make Mexican baked "fried" chicken and check out the escalopes option in How to make fried chicken for the shallow frying method.
- Eat with plenty of salad or steamed vegetables.
- Go Mexican, not Tex Mex. By returning to the roots of Tex Mex, you can unearth the much healthier Mexican versions that would be eaten daily and are filled with nutrients. Some examples include:
- Mexican rice
- Homemade tortillas
- Mexican pie
- See How to cook real Mexican food for some more ideas.
- Enjoy more Asian-inspired fast food choices. Many Asian take-outs are healthy if you avoid fried fatty or high calorie meals. Making these meals at home is easy and can include:
- Curries made with reduced ghee or other fat amounts, brown rice, salads accompanying the curry, less meat and more vegetable content, etc.
- Sushi (try both fish/seafood and vegetarian versions; if you're a novice sushi maker, it isn't "fast" but it will speed up with practice)
- Bento boxes (although this takes a bit of work and isn't quite "fast")
- Stir-fries (use healthy oil, lower the meat amount, use brown rice and don't overdo sauces with too much sugar in them)
- Soups, such as miso soup.
- Make cinema food. This can also be made at home for cinema nights:
- Nachos can be relatively easy to make by blending tomatoes, chillies and garlic, then adding vegetables of your choice (onion, pepper and more chilli is often tasty).
- Warm the salsa through, then pour some chips in an ovenproof dish, pour the salsa on top and sprinkle with just a little Monterey Jack cheese or highly flavored favorite cheese. Fresh nachos can be very tasty.
- Make popcorn at home. Instead of adding fat, add spices such as cinnamon or squeeze small amounts of lime juice and sprinkle pepper on the popcorn.
- Consider the small things, too. Do you get onion rings? Consider baking onion rings rather than frying them.
- Do you like doughnuts? Change to watermelon doughnuts to reduce the fat content.
- If you love cheesecake, make a light version at home and stick to only having one piece each for dessert.
- Complete the "fast food" experience by having fruit juice and carbonated water mixed together to make a refreshing, but healthy fizzy drink. You could also have ice-cream for dessert if you wish, choosing a fruit based sorbet option without dairy or small portions of a quality dairy ice cream.
- Learn from your experiences. Try different ways of putting together the fast food meals at home. Keep notes of which work best and what sorts of substitutes you and your family like most.
- Taste test! Does it taste similar? Better? Fresher? Is it more economical? Is it more satisfying than fast food? What do the other people think of your attempt? What could you do better next time you make it?
- Keep a folder of your favorite fast food home recipes, either hard copy or digital. Include an ingredients list to help with quick shopping.
- Build on your experiences. Attempt them once a week until you get them perfect, and don't forget to adjust your recipe if you see fit, along the way!
- Reserve fast foods at home for irregular, special treats. Once or twice a month is probably a good average for at-home fast food treats that contain a lot of fat or raised levels of sugar, although if you've really super improved the healthiness, more often is possible, especially with Asian style and traditional South American cuisine.
- Always favor fast food imitations that are filled with nutrients and that are simple.
- Get children involved in making homemade fast foods; teach them that cooking is easier than getting takeouts.
Edit Tips
- Experiment with making your own condiments; "special" sauce can easily be made by mixing ketchup and mayonnaise.
- You could also get little paper cups for your sauce, like they have in McDonald's, to add authenticity.
- Get a flame-grilled taste by barbecuing your burgers. Only use a barbecue in appropriate weather and never use them indoors.
- Not everything has to be homemade––oven fries are readily available and are not too expensive. Just be sure to choose ones baked or cooked in vegetable oil.
- You could also draw upon ideas from other food establishments such as Subway and have a sandwich night.
- You will never be able to recreate a fast food product exactly; a lot of the processes used in fast food production are beyond the capabilities of a small, household kitchen, but you can make stuff that's fresh, and tastes better, so you shouldn't really aim for an exact match anyway!
- Not enough time? No worry! You can make your own burgers (or other products) and freeze them. But be sure to give enough defrosting time on the day of consumption, and never make fresh food to freeze more than three months in advance.
Edit Warnings
- Fast food can be unhealthy for you, so if your replication isn't as good, don't resort to lots of fast food. The occasional take out isn't bad, but lots of fast food can have negative health effects.
- You do not need to utilize the cooking methods that fast food places use, either. Ovening, baking, grilling or barbecuing can be tastier.
Edit Things You'll Need
- Recipe journal
- Fast food recipes which have healthy variants - many good cookbooks and websites have plenty of recipes like this
- Quality, fresh ingredients
Edit Related wikiHows
- How to Overcome an Addiction to Fast Food
- How to Eat Healthy at a Fast Food Restaurant
- How to Adapt to Spicy Food