14-23 Januari 2012
Pameran Seni Lukis Kilas Balik
MELODI GARIS TEDJA
Pembukaan: Sabtu, 14 Januari 2012, pukul 19.00
Kolaborasi Cak Rina bersama Swandayani
dan Pembacaan Catatan Rendra oleh Penyair Abu Bakar
Bentara Budaya Bali
Jl. By Pass Prof. Ida Bagus Mantra no.88-A, Ketewel
Gianyar, Bali
Sebuah pameran retrospektif Tedja Suminar (75 tahun) mewarnai agenda awal tahun Bentara Budaya Bali. Selain menghadirkan sket-sket terpilihnya, pelukis kelahiran Ngawi, Madiun 16 April 1936 ini akan menggelar lukisan-lukisan cat minyak buah cipta tahun 1957 hingga 2011, keseluruhan berjumlah 96 karya yang terangkum dalam tajuk ‘Melodi Garis Tedja’.
Tedja Suminar yang telah lama bermukim di Bali, dan mengawali karir seni lukisnya dengan belajar di Akademi Kesenian Surakarta, secara khusus akan menampilkan wajah-wajah pelukis dan seniman Bali dalam kanvasnya sebagai bagian dari kolaborasi. Menurut Rendra, penyair besar Indonesia, garis-garis dalam lukisan Tedja Suminar selalu membawa ‘melodi’, sedangkan warna-warnanya membawa ‘irama’. Perkembangan wawasan pikirannya yang mencolok adalah perhatiannya pada kenyataan ‘psikologis’ di waktu remaja, dan kini pada usia-usia matangnya, lebih tertuju pada kenyataan-kenyataan sosiologis.
Tedja Suminar memiliki pergaulan yang sangat luas, bukan hanya Rendra, tetapi juga tokoh-tokoh lintas budaya dan lintas bidang lainnya. Sebagai bagian dari persahabatan itu, Tedja mengabadikannya dalam sket atau karya lukisnya. Pada pembukaan pameran yang diresmikan oleh Anak Agung Gede Rai (Museum ARMA), akan ditampilkan suatu pentas tari kecak kolaborasi Cak Rina bersama penari Swandayani sebagai Dewi Tara. Dalam kesempatan itu, penyair Abu Bakar akan membacakan catatan kesaksian Rendra atas Tedja Suminar. Sebagai bagian dari pameran, diadakan pemutaran film produksi Rumah Dokumen serta perbincangan terkait kisah pengalaman dan proses penciptaan Tedja Suminar.
Tedja Suminar dilahirkan di Madiun, 16 April 1936. Ia mengawali kesenimannya dengan secara khusus belajar seni lukis pada maestro Abas Alibasyah. Sering berpameran bersama di dalam dan luar negeri serta telah 16 pameran tunggal dengan beragam tema. Sempat bekerja di bagian penerangan Angkatan Laut RI pada tahun 1950-an. Ia menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Timur tahun 1980 dan dari Walikota Surabaya tahun 1989. Belum lama ini, tahun 2011, bersama seniman Surabaya lainnya, yakni Leo Kristi dan komponis Abdul Syukur, menerima Jasa Pengabdian Seni dari Walikota Surabaya.
*
Rendra tentang Tedja:
Sewaktu masih sama-sama muda saya bergaul dengan pelukis Tedja dan suka menikmati pameran karya-karyanya. Garis-garis di dalam lukisannya selalu membawa “melodi”, sedangkan warna-warnanya membawa “irama”. Perhatiannya sangat hangat pada peristiwa sehari-hari. “Close-up” nya adalah bentuk perhatiannya kepada ekspresi jiwa tokoh-tokoh yang dia lukis atau gambaran details dari aktivitas kerja/laku tokoh-tokoh itu. Rata-rata semuanya adalah ungkapan suka duka kehidupan manusia. (Tahun 60an saya pernah menulis karya sketsa Tedja di majalah Star Weekly Jakarta).
Sejak dia tinggal di Bali tak lagi kami punya pergaulan yang erat. Jarak kilometer yang jauh dan kesibukan kami masing-masing sebagai pribadi memisahkan kami secara jasmani. Sayapun tidak lagi mengikuti perkembangan karya seni rupanya. Tiga tahun lalu saya ke Ubud tapi kami gagal bertemu untuk makan bersama, jadi praktis sudah lebih-kurang 35 tahun kami tak pernah bertukar pikiran dengan sebenarnya. Saya tak tahu bagaimana perkembangan wawasan pikirannya dan juga tak bisamembayangkan keterlibatan perhatiannya ke mana atau ke apa.
Ternyata ia masih seorang penyair yang bersyair dengan media seni rupa. Orang yang bodoh, dengan bahasa akademis, menamakan Tedja romantikus. Orang semacam ini lebih baik diam saja. Tedja tetap seperti dulu. Ia tidak memberi perupaan kepada pengalaman
panca indra semata, meskipun jejak-jejak panca indranya kaya. Juga ia tidak sekedar memberi perupaan kepada kesadaran pikirannya, meskipun ada opini juga pada karyanya. Tetapi yang paling utama dalam seni rupanya adalah “Suara Kalbu”. Bahasa kalbunya yang kuat itulah yang memberi suasana puitis.
Perkembangan wawasan pikirannya yang menyolok adalah perhatiannya kepada kenyataan “psikologis” di waktu remaja, dan kini lebih tertuju kepada kenyataan-kenyataan “sosiologis”. Kalau dahulu ia suka “close-ups” sekarang ia mahir dan fasih dalam “longshots”. Close-ups yang dulu penuh dengan wawasan psikologis, sekarang berganti dengan long-shots yang mengandung pemahaman sosiologis.
“Ngamen 2001” yang dimaksud untuk dihadiahkan kepada saya, saya sambut dengan gembira dan rasa terima kasih. Itulah bukti akan pengertiannya yang mendalam secara fisiolofis, psikologis, sosiologis pada kehidupan pengamen sebagai orang urakan yang tinggal di angin. Wajah-wajah meditative yang mencerminkan disiplin hidup pribadi yang keras dan tinggi dari para seniman urakan . Para seniman yang bergelimang dengan kontekstualitas tetapi tetap terkait dengan nilai-nilai universal. Karya seniman-seniman semacam ini adalah ruang ibadah, yang muncul dari kalbu, bersamaan dengan delapan belas nada alam semesta raya. – Meditatif! Ya! Ya!. Begitulah gambaran hidup yang terpancar dari sketsa itu !
Itulah daya hidup !
Selamat !
Rendra
Cipayung, 10 Juni 2002
info via www.journalbali.com
info via www.journalbali.com
No comments:
Post a Comment