Saturday, October 20, 2012

pameran seni rupa "THREE DIMENSION - GALANG KANGIN" | 20 Oktober 2012 di Griya Santrian, Sanur

3_dimention

THREE DIMENSION - GALANG KANGIN
pameran seni rupa 3 dimensi dari perupa Galang Kangin 
Sabtu, 20 Oktober 2012
mulai jam 6.30 pm
di Hotel Griya Santrian, Sanur
Jl Danau Tamblingan 47

pameran dibuka oleh bapak Agus Maha Usadha

GALANG KANGIN DAN KESADARAN MAKRO-EKOLOGI

Bali memikul beban besar yang dibangun sejarah di atas pundaknya sebagai pulau dengan pemandangan yang memikat, sebagai masyarakat dengan kehidupan religius yang kuat, sebagai kebudayaan dengan tradisi estetik yang tinggi dan semua itulah yang membuat menjadi dikenal dan dipandang oleh dunia. Namun dalam era globalisasi, masyarakat mengalami benturan kebudayaan. ”Tabrakan” waktu kapitalisme dengan waktu khas agraris Bali terjadi sangat dashyat serta selalu terjadi dualisme antara keinginan untuk mempertahankan tradisi dan menerima modernisasi sebagai tuntutan zaman. Seperti di permulaan tahun-tahun 1990-an masyarakat Bali merasakan tidak begitu kuasa berhadapan dengan investasi global, ruang dan waktu tidak lagi menjadi bagian utuh penduduk Bali. Pada waktu itu aktivitas pembangunan yang tidak terkontrol dan pesatnya perkembangan sektor pariwisata telah menyebabkan kerusakan lingkungan, penduduk luar pulau Bali datang membludak, sikap hedonis-materialistik berhadapan dengan nilai tradisi religius, dan ruang (mandala) sering dieksploitasi. Dengan demikian akan mengundang berbagai persoalan di segala bidang yang bisa merusak tatanan sakral-profan, hulu-teben, serta perubahan ruang dan waktu.
Industri pariwisata memang membawa dampak keuntungan materialistis sangat besar bagi sebagian kalangan masyarakat Bali. Namun juga berimplikasi negatif yang menjadi konsekuensi dari pergaulan dengan masyarakat luar yakni berdampak pada perubahan-perubahan nilai luhur budaya lokal yang sudah mapan, lalu digantikan dengan budaya dan nilai-nilai luar yang dalam banyak hal tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Bali tradisional. Seperti diberitakan Kompas (31 Maret 2009), bahwa perkembangan industri pariwisata cendrung mengabaikan budaya dan merusak ekologi. Seperti ancaman keberadaan subak beserta ritualnya yang sangat terganggu. Gangguan itu berupa penggerusan lahan yang beralih fungsi menjadi hotel, homestay, lapangan golf dan akomodasi industri wisata lainnya. 

Di sisi lain banyaknya pengembang perumahan, maka manusia tidak hanya mengambil lahan untuk lokasi perumahan saja, tapi juga memerlukan bahan-bahan dari alam, seperti kayu, bambu, batu, pasir, air, dan material yang lain untuk membangunnya. Kegiatan tersebut telah mengancam kelestarian lingkungan hidup, ekosistem, dan mengancam manusia itu sendiri. Semakin tinggi tingkat konsumsi masyarakat, semakin tinggi pula kerusakan yang terjadi. Akibatnya terjadilah kerusakan sumber daya dan rusaknya sumber ekologi lingkungan hidup. 
Untuk mencegahnya maka diperlukan kesadaran makro-ekologi karena keseluruhan interaksi antara manusia dan lingkungan membentuk suatu lingkungan geo-fisik merangkap sebagai sistem otonom. Setiap perubahan pada salah satu unsurnya membawa akibat yang kerap disebut ekosistem. Ekosistem-ekosistem lokal pada gilirannya terkait satu sama lainnya di dalam sistem global bumi. Pada konteks itulah konservasi sangat mendesak untuk dilakukan guna menjaga ekologi dari berbagai ancaman kerusakan, yakni dengan elaborasi konsep pariwisata budaya yang bertumpu pada paradigma keserasian dan mengaitkan secara fungsional-interaktif antara komponen kebudayaan, pariwisata dan lingkungan. 

Perupa yang tergabung dalam Kelompok Galang Kangin, dalam berkarya mencoba mempersoalan konservasi ekologi tidak secara spektakuler mau meluruskan disharmoni persoalan di atas. Karya ini tidak juga menawarkan solusi-solusi sosiologis sebagaimana pernyataan-pernyataan para politikus, pemegang kekuasaan, pakar lingkungan, lembaga swadaya masyarakat, namun melakukan perantauan estetika dengan mencermati lingkungan sebagai ranah berkreativitas. 
Visual karya yang mencitrakan alam lingkungan tidak bisa diartikan hanya sebagai sebuah objek, kondisi-kondisi material, tetapi lingkungan memiliki struktur internal seperti juga proses mendalam. Taoisme mengembangkan sudut pandang internalistik tentang lingkungan, yakni dengan memfokuskan manusia lebih sebagai pewujudan alam dari pada manusia sebagai penakluk alam. Manusia sebagai pewujudan alam yang terus mengungkapkan keindahan, kebenaran, dan kebaikan alam, serta mengartikulasikannya dalam laku kehidupan. Namun persoalan bagi Perupa Galang Kangin bukanlah sebatas menampilkan ilusi dari realitas itu tetapi berusaha untuk menciptakan impresi dari realitas, dengan melakukan seleksi dari segenap fakta-fakta visual. 

Pesan dari karya-karya Perupa Galang Kangin yakni, ajakan memahami lingkungan dan alam Bali untuk ”dibaca” dan dimanfaatkan. Alam Bali adalah kesatuan organis yang tumbuh, berkembang dalam adabnya sendiri. Prilaku dan daya hidup dari sebuah ekosistim merupakan mutual yang saling memberi. Jika kita cermati kondisi sekarang karya –karya Perupa Galang Kangin lahir sebagai penanda keprihatinan terhadap fenomena sosial, ekologi dan moral dan peringatan akan bahaya konsumerisme.

Kemungkinan inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat kita (Bali) yang saat ini sedang beralih dari masyarakt yang sangat religious menjadi masyarakt konsumtif-materialistis yang meninggalkan wilayah-wilayah religius tersebut. Semoga apa yang kami sajikan bisa menginspirasi masyarakat Bali.

info event:

Posted via email from youth corner bali

No comments: