Saturday, February 11, 2012

Ibu, Sang Penyelamat

waaah aku suka petikan kalimat terakhirnya:

Langit menjadi pemimpin yang bijak..
Samudra jd nahkoda kapal, menjelajah lautan..
Bumi jd cendikiawan..
Angin jadi komposer...

via Indonesia Bercerita by nyomnyom on 1/15/12

Pada suatu masa disebuah negeri bernama Pandanwangi, terdapat sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan empat orang anak. Anak-anak tersebut masing-masing bernama Langit, Samudera, Bumi dan Angin. Mereka berenam tinggal di istana yang megah dan besar.

Sang Ayah adalah raja yang telah memerintah selama tiga puluh tahun dinegeri Pandanwangi dengan adil dan bijaksana. Permaisuri raja, sang Ibu, adalah seorang isteri yang sangat sabar, penyayang dan penuh cinta kasih tidak hanya kepada keluarganya saja tetapi juga kepada rakyatnya. Anak-anak mereka pun tumbuh dewasa dalam bimbingan dan kasih sayang kedua orang mereka. Meskipun mereka adalah anak-anak raja, namun mereka dididik layaknya rakyat biasa dan hidup sederhana.

Langit, si sulung, tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Ia sangat melindungi ketiga adiknya namun juga tegas terhadap mereka. Samudera, anak kedua, adalah seorang yang jenaka. Ia senang berpetualang ke tempat-tempat baru dan mencoba segala hal. Bumi, anak ketiga, sedikit berbeda dengan saudara-saudaranya. Ia agak pendiam, senang menyendiri dan suka mempelajari kitab-kitab kuno di perpustakaan negeri mereka. Sedangkan Angin, si bungsu, sedikit susah diatur tetapi sangat menyayangi keluarganya dan gemar bermain musik.

Keempatnya saling mengisi dan menjadi kebanggaan kedua orangtua mereka.
Akan tetapi, beberapa hari belakangan ini sang Ayah nampak murung dan berdiam diri saja. Sepertinya ada sesuatu yang cukup pelik yang tengah beliau pikirkan. Tak biasanya beliau berlaku demikian. Pasti ada hal penting dan berat yang menjadi beban pikiran beliau. Ibu pun mendekati Ayah yang duduk termenung dikursi goyang kesayangannya.

“Kereta kuda disimpangan, ciprat air kena muka. Apa gerangan membuatmu pucat,wahai paduka? “ tanya Ibu dengan lembut.

“Isteriku, permaisuriku. Aku tak ingin membuatmu turut risau dan gelisah. Cukuplah aku yang memikirkan masalah ini. “ ujar Ayah pelan sambil menepuk punggung tangan Ibu.

“Duhai suamiku, sang raja negeri ini. Jikalau engkau bersedih maka aku pun akan bersedih. Jika hatimu gembira sudah tentu aku bahagia pula. Jangan memendam yang tidak baik, nanti badan bisa turut sakit. Katakanlah padaku apa yang menghantui pikiranmu selama ini ? “ ucap Ibu kepada Ayah yang tengah menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Baiklah, akan kuceritakan kepadamu apa yang merisaukan hatiku. Isteriku, kira-kira sebulan yang lalu aku mendapat mimpi di tengah hari. Aku bertemu seorang peri. Dia mengatakan negeri ini akan mengalami bencana besar dan sebagian besar rakyat kita akan binasa. “

“ Apa yang harus kita lakukan untuk mencegahnya, suamiku? Ohh, sungguh malang nasib negeri ini. “

Ibu menangis sesenggukan.

“ Menurut malaikat, ada satu hal yang bisa kita perbuat jika tak ingin bencana itu terjadi. “ kata Ayah dengan suara terbata-bata.

“ Tetapi, itulah yang membuatku sedih. “ lanjut Ayah lagi.

Ayah menarik sebuah kursi dan menyuruh Ibu untuk duduk. Sepertinya ini memang masalah besar. Di rumah saat itu kebetulan hanya mereka berdua. Langit, Samudera, Bumi dan Angin sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Sambil menghela nafas Ayah melanjutkan kalimatnya.

“Negeri ini akan selamat bila salah satu dari anak-anak kita bersedia dikorbankan kepada Sang Penguasa sebagai seserahan pengganti nyawa rakyat“

“Apa? Salah satu dari anak kita? Apa yang harus kita lakukan? “ tangis Ibu semakin keras.
Ayah terdiam dan semakin tertunduk lunglai. Mereka ibaratnya seperti makan buah simalakama. Tak dilakukan maka rakyat binasa, jika dilakukan maka mereka akan kehilangan salah satu puteranya. Sebuah pilihan yang sulit dan tak mengenakkan.

Suasana hening cukup lama diantara mereka berdua. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tiba-tiba Ibu bangkit dari kursinya dan menggenggam tangan Ayah.

“Jangan khawatir, suamiku. Akan kutemukan jalan keluarnya. Tak akan ada yang bisa mengambil Langit, Samudera, Bumi dan Angin dariku dan tak satu pun yang bisa menghancurkan negeri ini. Aku adalah ibu dari mereka dan aku ibu negeri ini pula. Seorang ibu tak akan membiarkan anak-anaknya terluka.“

Sang Ibu memohon ijin kepada Ayah, mengambil selendang biru kesayangannya serta beberapa barang lalu bergegas keluar. Setengah berlari Ibu menuju kesuatu tempat di puncak sebuah bukit kecil. Sesampainya disana Ibu menggali tanah dibawah sebuah pohon pinus. Diambilnya segenggam tanah dan dimasukkan kedalam sebuah botol yang dibawanya dari rumah.

Lalu Ibu melanjutkan perjalanannya menuju pantai di utara. Disana Ibu mengisi botolnya dengan air laut sebanyak dua gayungan tangan. Setelah itu Ibu kembali ke rumah. Kemudian Ibu mengambil sebuah kantung plastik dan meniupnya. Botol yang tadi Ibu bawa lalu dikeluarkannya. Ibu membuka tutup botolnya dengan mata terpejam dan mengambil kantung plastik yang sudah gembung dengan udara itu lalu didekatkan kebotol tersebut.

Sang Ayah nampak keheranan dengan kelakuan Ibu tetapi dibiarkannya Ibu menyelesaikan apa yang sedang beliau kerjakan. Tak sepatah katapun Ibu ucapkan, namun senyum yang mulai menghiasi wajahnya menunjukkan Ibu tahu apa yang beliau lakukan ini. Setelah selesai memasukkan udara kedalam botol, Ibu kembali memasang tutupnya dan mengajak Ayah keluar dari rumah. Di pekarangan rumah Ibu menggandeng tangan Ayah yang masih belum mengerti apa maksud dari semua yang Ibu perbuat.

“Suamiku. Sekarang mari kita sama-sama lemparkan botol ini ke atas. Biarkan ia menyentuh angkasa dan kembali jatuh ke tanah. Dengan demikian, semoga lengkaplah persyaratan agar negeri ini tak dilanda bencana. “ ajak Ibu dengan suara bergetar.

Kemudian Ayah dan Ibu lalu melemparkan botol itu ke atas yang kemudian jatuh di atas rerumputan hijau. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar. Seperti bunyi petir yang disertai asap mengepul. Muncul dari balik asap, sesosok ibu peri dengan bintang-bintang menghiasi kepalanya. Ayah dan Ibu menundukkan kepalanya tanda hormat kepada ibu peri.

“Raja Pandanwangi, aku adalah ibu peri yang datang kemimpimu waktu itu. Engkau dan anak-anakmu sungguh beruntung memiliki seorang isteri dan ibu yang sangat cerdas dan penuh kasih. Karena cintanya kepada keluarga dan rakyat, dia mencari akal untuk mengganti anakmu yang akan dikorbankan sebagai penolak bala dengan mengambil semua perwakilan dari alam yang menjadi bahan utama unsur yang membentuk makhluk hidup. Akan tetapi, kalian harus tetap menjaga kelestarian alam negeri ini dan berjanji untuk tidak merusaknya agar bencana tak mampir di negeri ini dikemudian hari. “ nasihat ibu peri yang dibalas oleh anggukan dari sang Ayah.

“Terima kasih ibu peri. Akan kulakukan apa yang engkau perintahkan dan akan kuajak pula seluruh rakyat dan anak-anakku melakukannya sehingga negeri ini terhindar dari bencana. “ sahut Ayah.

Ibu peri lalu menghilang dari pandangan mereka. Sang Ayah dan Ibu lalu berpelukan dan menangis bahagia. Negeri mereka aman dari marabahaya dan anak-anak mereka selamat jiwanya berkat Ibu yang cerdas dan penuh kasih.

Beberapa tahun kemudian, Langit menggantikan sang Ayah menjadi raja. Seperti halnya Ayah, Langit juga menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana. Samudera menjadi seorang nahkoda kapal dan menjelajahi lautan. Sesekali ia kembali ke rumah membawa kisah-kisah dari perjalanannya. Bumi menjadi seorang cendikiawan dan mengajar ilmu-ilmu filosofi kepada orang-orang muda yang berguru kepadanya. Sementara itu Angin menjadi seorang komposer terkenal dan menciptakan yang musik-musik indah. Sang Ayah dan Ibu menghabiskan masa tuanya dengan bahagia. Negeri Pandanwangi kian sejahtera, aman dan tenteram. Semua karena sang Ibu.

Tamat

Posted via email from Drop Point

No comments: